Pengurus FKU Aswaja Jatim KH. Elyasa Sedang Dirundung Ujian, Namun Satu Hal: Daging Ulama Beracun
Oleh: Mahfud Abdullah (Indonesia Change)
Heru Ivan Elyasa, mendapatkan pelaporan dua orang ke Polres Mojokerto atas dugaan pelanggaran UU ITE. Bereaksi atas kejadian ini dalam pernyataan sikapnya FKUA Aswaja Jatim juga menyatakan menolak segala bentuk kriminalisasi dan persekusi baik terhadap ulama, kyai, ustadz, para aktivis, dan umat Islam maupun terhadap ajaran Islam; khilafah dan simbol-simbolnya.
Dilansir dari shautululama.org Lebih lanjut FKUA Aswaja Jatim menyatakan:
“Bila kriminalisasi dan persekusi terhadap anggota keluarga besar Forum Komunikasi Ulama Aswaja masih terjadi dan berkelanjutan, maka kami, seluruh ulama, kyai, ustadz dan seluruh anggota akan saling berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga bantuan hukum untuk melakukan langkah-langkah hukum yang diperlukan demi menjaga kehormatan dan nama baik seluruh keluarga besar Forum Komunikasi Ulama Aswaja”.
Menanggapi kasus persekusi yang marak menimpa ulama saat ini, salah satu ulama Aswaja Jatim, KH. Abdul Qoyyum (Abah Qoyyum) dari Malang menyatakan:
“Saya sebagai wakil ulama Aswaja Jatim sangat prihatin terhadap persekusi ini. Tidak bisa kita bayangkan kalau misal ada penguasa yang tidak menyukai orang-orang yang melakukan amar makruf nahi munkar, apa jadinya dunia ini. Lha wong ada amar makruf nahi munkar saja seperti ini, apalagi jika tidak ada”, pungkas beliau.
Daging Ulama Itu…
ada dua orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an. Pertama, adalah seorang ulama:
…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat… (Q.S. Al-Mujadilah: 11).
Ulama ditinggikan beberapa derajat kerena ilmunya. Maka orang berghibah terhadap ulama, lain dengan orang yang berghibah kepada orang yang selain ulama.
Kedua, orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah adalah orang berjihad fi sabilillah.
Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.S. Al-Anfal: 4)
Al-Hafidz Abul Qasim Ibnu ‘Asakir Rahimahullah -ulama besar adab 6 Hijriyah- menyatakan,
“Bahwasanya daging para ulama itu beracun.” (Tabyin Kadzbil Muftari: 29).
Beliau menyebutkan kebiasaan yang sering terjadi dan sudah maklum bahwa orang-orang yang merendahkan (menghinakan) ulama maka Allah akan bongkar boroknya. Dan sesungguhnya siapa yang gemar menfitnah ulama dengan lisannya maka Allah menghukumnya sebelum kematiannya dengan kematian hati.
Kemudian pengarang kitab tarikh “Tarikh Dimzyaq” itu menyitir firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Nuur: 63)
Sesungguhnya memusuhi ulama’ (diantaranya dengan fitnah dan kriminalisasi) itu berbeda dengan memusuhi selain mereka. Perbuatan tersebut secara tidak langsung memusuhi ilmu yang ada dalam dada mereka yang wajib diketahui umat. Jika ulama difitnah dan dikriminalisasi berakibat rusaknya reputasi mereka sehingga -dikhawatirkan- umat menolak ilmu yang mereka sampaikan. Ini tindakan yang membahayakan dien Islam.
Oleh karena itu, keberadaan ulama di tengah umat sangatlah berarti, sebaliknya, ketiadaan mereka merupakan suatu bencana. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Sebab, para ulama tidak akan tinggal diam untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana mereka selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu fit Taamuli Maal Ulama, hlm. 7).
“Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Sebaliknya Allah mengambilnya dengan cara mewafatkan para ulama sehingga tidak tersisa walaupun seorang. Manusia mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin. Apabila mereka ditanya, merekapun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.’ (HR al-Bukhoriy: 100, 7307, Muslim: 2673, Ibnu Majah: 52 dan at-Turmudziy: 2652).[]