Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengimbau umat Islam dan para pemangku kebijakan atau pejabat untuk menghindari pengucapan salam dari agama lain saat membuka acara resmi. Imbauan tersebut termaktub dalam surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.
KH. Abdusshomad juga menegaskan bahwa tidak boleh bagi umat Islam mengucapkan salam semua agama dengan dalih toleransi. Menurutnya, toleransi tidak bisa dijadikan alasan untuk menabrak batasan ajaran agama. Dalam mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, tidaklah dengan merusak kemurnian ajaran agama. Karena prinsip toleransi bukanlah dengan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda.
Toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing pihak yang berbeda. Dalam ajarannya, Islam sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi. Antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama, yaitu dalam Surah al-Baqarah ayat 256. Lalu prinsip tidak mencampuradukkan ajaran agama dalam konsep ‘Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri’ sebagaimana diatur dalam Surah al-Kafirun ayat 6.
Ketetapan MUI Jatim ini didukung oleh MUI Pusat. MUI Pusat menyatakan MUI Jatim sudah melakukan kebijakan tepat menerbitkan imbauan agar pejabat muslim tak mengucapkan salam agama lain. Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas menyatakan imbauan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Karena itu, jika kondisi ini (pengucapan salam dari agama lain) terus terjadi, maka ini adalah wujud nyata sinkretisme (mencampuradukkan) Islam dengan ajaran agama lain. Terlebih dengan beragam isu radikalisme yang marak belakangan ini, sinkretisme Islam seolah-olah menjadi angin segar agar Islam tampak lebih ‘ramah’. Padahal dalam Islam, yang halal itu jelas, dan yang haram juga jelas.
Sedangkan Islam ‘ramah’ atau tidak, itu soal lain. Tergantung yang membicarakan Islam itu adalah orang yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, ataukah ia seorang pluralis yang memang berkeyakinan semua agama sama. Jika ia seorang muslim sejati, maka dirinya tak mungkin bersikap pluralis. Karena dalam Islam ada perintah dari Allah agar kita masuk Islam secara kaffah (Surah Al-Baqarah ayat 208).
Namun demikian, Allah juga memerintahkan kita agar menyampaikan dakwah/argumentasi Islam dengan lisan yang baik (Surah An-Nahl ayat 125). Ini jelas bertujuan agar orang yang didakwahi dapat menerima Islam sebagai cahaya selama dalam proses tholabul ‘ilmi-nya. Ini juga jelas demi menampilkan Islam yang penuh kebaikan.
Sungguh, kemudian sangatlah patut untuk kita renungkan dan amalkan kaidah syara’ berikut ini.
Pertama, kaidah syara’ tentang hukum perbuatan. Bahwa setiap perbuatan terikat dengan hukum syara’. Artinya, setiap perbuatan ada dalilnya. Sebagai umat Islam, tidak boleh sembarangan atau asal-asalan dalam berbuat. Jadi, pelajari dulu dalilnya, baru pertimbangkan untuk melakukan atau menghindari perbuatan tersebut.
Kedua, kaidah syara’ tentang “al-washilatu ilal haromi, haromun”. Artinya, segala sarana/sesuatu yang mengantarkan pada keharaman, maka sarana/sesuatu itu juga haram. Jadi, segala sesuatu yang terkesan baik tapi haram (sekalipun itu demi alasan toleransi), maka sesuatu itu juga haram.
Ketiga, tentang ihsanul amal (amal yang terbaik). Hal ini dilaksanakan dengan dua syarat, yaitu niat yang ikhlas karena Allah dan cara melakukannya harus benar sesuai hukum syara’. Jadi, meski suatu perbuatan sudah diniatkan ikhlas tapi dilakukan dengan cara yang salah, maka perbuatan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan oleh syariat Islam.
Demikianlah, semoga kita termasuk orang-orang yang istiqomah melaksanakan ajaran Islam secara kaffah, serta senantiasa berhati-hati dalam melaksanakan hukum syariat. In syaa Allah.[]