Tanggapan yang tidak memadai terhadap kebakaran yang terjadi baru-baru ini di Grenfell Tower menyoroti adanya jurang yang besar antara para politisi, pejabat dan rakyat yang seharusnya mereka bertanggung jawab.
Selama tragedi itu hingga sekitar 80 orang, mati lemas atau tewas terbakar dalam peristiwa yang sekarang terkenal di Kensington Utara.
Seluruh keluarga yang tewas dalam peristiwa yang tidak bisa tergambarkan itu termasuk anak-anak dan para orang tua.
Apa yang ditunjukkan oleh kejadian itu bukan hanya menjadi aib bagi para elit politik terhadap orang-orang yang paling membutuhkan dan rentan di masyarakat, namun bagian-bagian penting dari masyarakat telah kehilangan semua rasa hormat dan kepercayaannya kepada mereka yang memiliki otoritas terhadap para korban.
Hancurnya Kepercayaan
Tragedi Grenfell Tower bukanlah satu-satunya contoh dimana para politisi mengecewakan publik.
Ada banyak tokoh politisi dan otoritas lainnya yang gagal membantu para korban kejahatan dan kemalangan lainnya.
Sebagai contoh, keluarga yang menjadi korban bencana Hillsborough tahun 1989, di mana 96 penggemar sepak bola tertindih hingga mati, hingga sekarang masih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa orang-orang yang mereka cintai, 28 tahun setelah kejadian itu.
Laporan awal polisi dan pemerintah tentang bencana tersebut mencoba menyalahkan para korban dan perilaku penggemar sepak bola daripada yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan acara tersebut.
Setelah banyak audiensi dan banding pada tahun ini, orang-orang yang bertanggung jawab atas bencana tersebut menjadi tertuduh dalam melakukan kejahatan.
Pada tahun 1993, mahasiswa Stephen Lawrence dibunuh oleh sekelompok preman rasis di London selatan.
Kasus ini menyoroti rasisme sistemik di dalam jajaran kepolisian dan penyelidikan yang buruk menyebabkan sang pembunuh dapat menghindari keadilan selama lebih dari 24 tahun.
Masyarakat Barat menyadari bahwa para politisi, bukannya melayani rakyat yang memilih mereka, tapi jauh lebih tertarik untuk melayani kepentingan pribadi mereka sendiri. Hal ini sangat mencolok selama terjadinya skandal pengeluaran biaya anggota parlemen.
Selama skandal tersebut, pengeluaran pribadi para anggota parlemen dibocorkan ke pers dan publik Inggris yang marah menemukan bahwa orang-orang yang mereka pilih ternyata hanya mengurus urusan pribadi mereka sendiri.
Penyalahgunaan tunjangan dan biaya yang meluas yang dilakukan oleh para anggota parlemen Inggris menimbulkan kecaman publik dan sejumlah besar pengunduran diri, pemecatan dan bahkan penuntutan dan pemenjaraan terhadap sejumlah anggota parlemen yang sebelumnya melayani.
Sayangnya, jenis penyalahgunaan kepercayaan ini bukan kasus yang terisolasi, tapi merupakan kejadian sehari-hari.
Para anggota parlemen sering kali menemukan banyak cara imajinatif untuk menghasilkan banyak uang selama, dan setelah, masa jabatan mereka sebagai pegawai negeri.
Sebuah contoh yang terjadi saat ini adalah mantan Kanselir George Osborne, yang dijuluki George Osborne dengan ‘enam pekerjaan’.
Jenis penyalahgunaan wewenang yang terang-terangan dan penggunaan kantor yang tidak malu-malu lagi yang dipakai untuk keuntungan finansial ini membuat meluasnya ketidakpercayaan di kalangan masyarakat umum terhadap para politisi dan sistem mereka sendiri.
Sementara rakyat jelata dibuat menderita lewat kebijakan penghematan ekonomi, mereka melihat diri mereka menjadi lebih miskin karena orang-orang yang mereka pilih untuk melayani mereka sebenarnya menjadi jauh lebih kaya.
Sesungguhnya, banyak politisi senior yang pada akhirnya lebih kaya berkali-kali lipat setelah menjadi anggota parlemen sementara konstituen mereka tetap jauh lebih buruk.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika menjadi politisi dipandang sebagai pekerjaan untuk mencari karir, orang-orang yang melayani diri sendiri, yang memiliki sedikit perhatian terhadap rakyat yang seharusnya mereka layani.
Kepercayaan di Dunia Muslim
Tidak peduli betapa mengerikannya penyalahgunaan kekuasaan yang disorot terhadap para politisi Barat dengan besarnya korupsi para penguasa dan pejabat di dunia Muslim. Pada saat bersamaan, kepercayaan apapun terhadap yang sistem terinspirasi kolonial yang mengatur tanah Muslim telah lama hilang lenyap.
Tidak perlu menyebutkan nama seperti Nawaz Sharif, Asif Ali Zardari, Bashar Al-Assad, Hosni Mubarak, keluarga Kerajaan Saudi, keluarga-keluarga Kerajaan di Teluk dan sejenisnya, yang menipu jutaan, jika bukan miliaran, uang publik untuk masuk ke dalam pundi-pundi pribadi orang-orang korup itu.
Politik yang dibawa oleh Islam ke dunia 1400 tahun yang lalu sangat berbeda dengan apa pun yang terjadi sebelumnya. Islam menyingkirkan gagasan pemimpin sebagai individu yang melayani diri sendiri menjadi penguasa yang menjadi pelayan rakyat dan membawa sistem pemerintahan yang benar-benar unik untuk membangun gagasan ini.
Pandangan Islam tentang Politik
Politik dalam Islam berbeda secara mendasar dari semua sistem politik lainnya di bumi. Pertama, hal itu semata-mata didasarkan pada aqidah Islam. Allah SWT telah memberi kita tata cara kehidupan yang lengkap termasuk sistem politik yang berdiri sendiri tanpa memerlukan tambahan atau penghapusan, yang merupakan sistem pemerintahan Khilafah. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (5:3)[]riza