Penggunaan Mata Uang Lokal Tidak Berpengaruh Signifikan

Mediaumat.id – Penggunaan mata uang lokal yang dilakukan oleh Indonesia, Malaysia, dan Thailand dalam berdagang dan berinvestasi langsung (direct investment) sebagai upaya dedolarisasi dinilai Ekonom Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta tidak berpengaruh signifikan.

“Tidak begitu berpengaruh signifikan dalam transaksi ekspor-impor, rasionya malah turun penggunaan ringgit Malaysia dibandingkan dengan penggunaan valuta asing yang lain,” bebernya kepada Mediaumat.id, Senin (28/8/2023).

Ia menyimpulkan itu berdasarkan pada data ekspor-impor. Menurutnya, pertumbuhan ekspor Indonesia sejak tahun 2018 -tahun disepakatinya penggunaan mata uang lokal/local currency settlement (LCS) tumbuh sebesar 8,6 persen. Penggunaan ringgit Malaysia dalam ekspor itu tumbuh dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 23,3 persen. Kemudian, lanjut Hatta, rasio penggunaan ringgit Malaysia dibandingkan dengan total mata uang valas lainnya hanya 0,08.

“Jadi penggunaan ringgit Malaysia dalam ekspor-impor ini hanya 0,08 dibandingkan dengan total seluruh mata uang yang ada, kecil sekali,” jelasnya.

“Tahun 2021, ketika ekspor itu begitu tinggi pertumbuhannya mencapai 49,7 persen, itu rasio penggunaan mata uang ringgit Malaysia hanya 0,09. Begitu juga tahun 2022, malah turun lagi rasionya 0,08,” beber Hatta.

Transaksi investasi internasional, lanjut Hatta, jika berdasarkan data BIS (Bank for International Settlements), penggunaan mata uang masih didominasi dolar Amerika Serikat yaitu 88,4 persen, kemudian euro 35,5 persen, diikuti dengan mata uang yen Jepang 16,7 persen.

“Tampak dari data ini bahwa dolar Amerika memiliki porsi yang sangat besar dalam transaksi valuta asing. Artinya, di dunia saat ini, perekonomian, transaksi ekspor-impor, investasi itu masih didominasi oleh penggunaan dolar Amerika. Artinya kalau kita ingin melakukan ekspor impor. Indonesia, misalnya, ingin mengimpor minyak maka kita harus punya dolar, karena transaksi minyak menggunakan dolar,” jelasnya.

Karenanya, Hatta memandang sulit untuk mengurangi atau menggerus dolar tadi, karena seluruh dunia masih bersepakat menggunakan dolar.

Memihak

Berkaitan dengan keadilan dalam mata uang, menurut Hatta, jika masih menggunakan fiat money atau mata uang kertas, maka mata uang tersebut merupakan mata uang yang memihak (memihak otoritas pencetak uang).

“Kalau kita menggunakan mata uang euro, maka yang berhak mencetak euro itu adalah Uni Eropa, maka yang diuntungkan adalah negara-negara Eropa, yang bergabung dalam negara-negara Eropa. Kalau kita menggunakan mata uang yuan, maka otoritas kewenangannya mencetak mata uang yuan adalah Bank Central Cina,” jelasnya.

Menurutnya, berbeda jika menggunakan emas dan perak. Emas dan perak tersebut tidak ada yang bisa mencetak, karenanya tidak ada keberpihakan. Selain itu, emas dan perak tersebut juga memiliki dua kekuatan yaitu nilai nominal dan intrinsiknya sama.

“1 Dinar itu 4,25 gram, 1 gram emas sekarang berapa? Katakanlah Rp1 juta, Rp4 juta lebih itu. Bisa membeli 1 ekor kambing,” jelasnya.

“Beda dengan mata uang kertas, nilai nominal dan nilai intrinsiknya itu tidak sama. Nilai nominalnya itu Rp100 ribu tetapi ongkos cetaknya itu saya yakin enggak sampai Rp50 ribu. Tapi kemudian dia bisa berharga Rp100 ribu. Karena dipaksa oleh undang-undang,” terangnya.

Karena itulah, menurutnya, harus menggunakan dinar dan dirham karena akan membuat mata uang stabil. Jika mata uang stabil maka harga barang stabil. Jika harga barang stabil tentu membuat kesejahteraan rakyat akan lebih baik.

“Hanya saja untuk mendapatkan emas dan perak ini, itu tidak bisa menggunakan sistem keuangan moneter kapitalis. Dia harus disatukan, dipadukan dengan sistem keuangan syariah,” pungkasnya.[] Ade Sunandar

Share artikel ini: