Pengamat: Xi Jinping Kehilangan Legitimasi Karena Ini
Mediaumat.id – Meski kabar Presiden Cina/Tiongkok dikudeta hanya rumor, Akademisi sekaligus Pengamat Hubungan Indonesia-Tiongkok Muhammad Zulfikar Rakhmat, Ph.D. menyebutkan belakangan ini Xi Jinping juga sudah kehilangan legitimasinya.
“Memang beberapa (waktu) belakangan ini, Xi Jinping sendiri juga sudah kehilangan legitimasinya,” ujarnya dalam Bincang Pagi: Rumor Kudeta Xi Jinping: Bagaimana Nasib Indonesia? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Sabtu (1/10/2022).
Bahkan, sebelum menjadi presiden pada tahun 2012, lanjut akademisi yang telah menyelesaikan jenjang S3-nya di Manchester, Inggris tersebut, sebenarnya banyak dari rakyatnya yang tidak suka dengan Xi Jinping, terutama dikarenakan masalah perekonomian yang tidak stabil.
“Ekonomi yang katanya terus meningkat itu sebenarnya ekonomi Tiongkok itu banyak mengalami ketidakstabilan,” ungkapnya.
Sebutlah pula permasalahan meningkatnya angka pengangguran (unemployment) di tengah besarnya cadangan devisa Cina yang terbesar di dunia, sebagaimana dikutip Kontan.id dari Reuters, Kamis (7/7/2022).
“Secara domestik banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan. Kemudian ada juga ketimpangan antara wilayah pusat dengan wilayah pinggiran,” bebernya lagi.
“Mungkin hampir mirip dengan di Indonesia,” sambungnya, terkait masih banyaknya anak bangsa belum memperoleh pekerjaan yang layak di negeri sendiri.
Dampaknya, semua isu ekonomi tersebut, menurut Zulfikar menjadikan beberapa masyarakat di sana tidak lagi menaruh rasa kepercayaan lagi dengan Partai Komunis Tiongkok termasuk kepada Xi Jinping.
Tak heran, melalui besarnya cadangan devisa dibuatlah salah satu program proyek ambisius BRI (Belt and Road Initiative) yang intinya membangun kembali jalur sutra. Dan diharapkan bakal mampu memeratakan pertumbuhan ekonomi sehingga kepercayaan publik bisa kembali.
Namun sekali lagi ia menekankan, legitimasi partai sudah menurun. “Secara umum sebelum Xi Jinping menjadi presiden tahun 2012 memang orang sudah punya ketidakpercayaan terhadap Partai Komunis Tiongkok, siapa pun pemimpinnya,” urainya.
Pasalnya, gerakan berbagi informasi, misalnya, tidak sebebas layaknya negara lain. Hal ini dikarenakan jaringan media informasi dikontrol oleh pemerintah.
“Menurut penelitian, ini penelitiannya scientific, setiap bulannya hampir ada 500 demonstrasi di beberapa wilayah Tiongkok melawan Partai Komunis Tiongkok,” ulasnya.
Tak ayal, tujuan dari seluruh program pembangunan tersebut, Zulfikar menilai salah satunya untuk meleburkan kekecewaan masyarakat sebelumnya.
Meski demikian, di tengah pelaksanaan program-program yang bagus sekalipun, tetap masih banyak orang tidak suka terhadap kepemimpinannya.
Seperti halnya juga ditunjukan oleh kalangan di level pemerintah sendiri yang terkuak pada pertengahan tahun 2018, setelah Xi Jinping memutuskan mengubah konstitusi terkait masa jabatan presiden menjadi seumur hidup.
“Dari situ akhirnya ada konflik internal. Jadi memang dalam lingkaran partai sendiri banyak yang tidak suka dengan Xi Jinping,” jelasnya.
Pun perlu diketahui, secara latar belakang, background Xi Jinping termasuk sosok ambisius. “Proyek yang begitu besar ini beliau sangat ambisius,” selanya.
Butuh Indonesia
Di sisi lain ia menyebutkan, Indonesia adalah salah satu destinasi penting bagi proyek BRI. Maksudnya, tanpa peran Indonesia, proyek membangun kembali jalur sutra tak akan pernah jadi.
Hanya, pemerintah Indonesia tidak menyadari hal ini. “Pemerintah Indonesianya tidak sadar bahwa sebenarnya Tiongkok yang butuh kita,” sesalnya.
Celakanya hal ini justru dianggap dan dijadikan sebagai kesempatan untuk melaksanakan janji-janji politik penguasa.
Lebih celaka lagi, kata Zulfikar, kesempatan itu dimanfaatkan oleh para individu demi kepentingan pribadi. Salah satunya, Luhut Binsar Panjaitan yang menurut penelitian yang ia lakukan, memiliki bermacam proyek atau bisnis yang berhubungan erat dengan para pebisnis asal Tiongkok.
Tengoklah Cina sebagai pemasok terbesar vaksin covid-19 ketika itu. Sayangnya secara mitra dagang, mengharuskan penggunaan mata uang Tiongkok sebagai alat pembayaran.
“Di masa 2012 sampai sekarang, perubahan juga terjadi. Salah satunya juga penandatanganan mata uang, di mana kita dalam perdagangan dengan Tiongkok sekarang pakai mata uang Tiongkok,” jelasnya.
Malah dari sisi lain, yakni berkenaan konflik di Laut Cina Selatan, kata Zulfikar, ada keanehan tersendiri. “Yang lucunya, di tengah keagresifan Tiongkok di Laut Cina Selatan yang katanya pemerintah kita juga cukup kritikal soal itu, tetapi kita sering latihan militer bareng dengan tentara-tentara itu,” senyumnya.
Sehingga ia pun mencatat, neraca perdagangannya selalu menguntungkan Tiongkok. “Keuntungannya ada di Tiongkok, kerugiannya di sisi Indonesia,” ujarnya.
Apalagi melihat dari sisi belanja utang. “Di bulan Mei 2022 ini, itu utang kita sampai 17 triliun rupiah ke Tiongkok,” imbuhnya.
Alhasil, selain banyak ahli ekonomi yang akhirnya berkesimpulan bahwa secara ekonomi Indonesia sudah bergantung ke sana, pihak Tiongkok pun merasa seakan sangat dimudahkan terkait proyek BRI yang peta rencananya juga mencakup wilayah Indonesia. “Tiongkok akhirnya merasa bahwa ini gampang banget dideketin,” tandasnya.
Padahal, sebagaimana pernah dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi tatkala bernegosiasi dengan Cina dalam hal proyek kilang minyak di Laut Merah yang mengharuskan pekerja Cina turut menjadi bagian dari perjanjian, menolak syarat yang diajukan.
“Kerajaan enggak mau. Kita maunya dibalik. 80 persen pekerja Saudi, 20 persen pekerja Tiongkok. Kalau kamu enggak mau ya udah, kita enggak butuh investasi,” ucapnya menggambarkan, yang selanjutnya pihak Cina pun menyetujuinya.
Tetapi tidak begitu dengan Indonesia. “Indonesia berbeda, Indonesia enggak berani negosiasi seperti Saudi,” terangnya kembali menyayangkan.
Dengan demikian ia pun tak heran ketika tahu ada beberapa proyek yang pekerja kasarnya tidak bisa berbahasa Indonesia.
Dengan kata lain, semisal pengaduk semen atau sopir truk di pabrik semen PT SDIC Papua Cement Indonesia yang beroperasi di Manokwari Provinsi Papua Barat, yang seharusnya warga lokal bisa melakukan, justru diisi para pekerja Cina.
Padahal sebelumnya asisten dari Luhut Binsar Panjaitan menerangkan, pekerja Tiongkok hanya di level manajemen. “Katanya direksi, managerial (yang boleh diisi pekerja asing), ternyata yang di level bawah juga orang-orang Tiongkok semua isinya,” pungkasnya.[] Zainul Krian