Pengamat Ungkap Maulid Nabi SAW Punya Dimensi Politik

Mediaumat.info – Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, dinilai Pengamat Politik Ahmad Abdurrahman al-Khaddami bukanlah pertemuan rutin yang bersifat ruhiah (spiritual) semata, namun juga memiliki dimensi politik.

“Namun juga memiliki dimensi siyasiyyah (politik),” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima media-umat.info, Ahad (15/9/2024).

Dengan kata lain, sambungnya, merupakan tradisi para ulama dan umara terdahulu aktif dalam jihad fisabilillah serta mendukung kesatuan negara khilafah yang memiliki konsep hirasatuddin wa siyasatuddunya atau memelihara agama dan mengatur dunia.

Sebelumnya, ia memaparkan bahwa bulan Rabiulawal menjadi momentum penting peringatan Maulid Nabi SAW bagi jumhur kaum Muslim. Tujuannya untuk menampakan ungkapan syukur dan bahagia (surur) atas kelahiran Al-Mushthafa Sayyidina Muhammad SAW.

Adalah menurut Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, Imam Ibn Khalikan dalam Wafiyyat al-A’yan, Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, dsb., bahwa yang mengawali peringatan maulid Nabi SAW adalah umara dari kalangan ahlussunnah yaitu Sultan al-Malik al-Mu’azzam Muzhaffaruddin Abu Sa’id al-Kukburi ibn Zainuddin Abu al-Hasan Ali Kujak ibn Buktikin ibn Muhammad at-Turkmani (549-630 H).

Ia merupakan pemimpin Irbil (daerah di Irak) yang senantiasa dipuji para ulama sebagai pemimpin yang adil, pahlawan yang pemberani, zuhud dan dermawan, serta aktif mencegah kemaksiatan tersebar di wilayahnya.

Al-kisah, Imam Abu al-Khatthab Umar ibn Hasan ibn Dahiyah al-Kalbi al-Andalusi, ulama ahli hadits yang menyusun kitab At-Tanwir dan mempersembahkannya kepada Sultan Muzhafaruddin al-Kukburi dan dirinya diberi 1000 dinar atas karyanya tersebut.

Diketahui, kandungan dari kitab At-Tanwîr di antaranya, pertama,_ seputar nasab Nabi SAW disertai penjelasan biografi singkat nama-nama yang disebutkan.

Kedua, keadaan politik dan agama bangsa Arab sebelum dan permulaan Islam. Ketiga, mengenai kehidupan Nabi SAW sejak kelahiran hingga menikahi Ummul Mukminin Khadijah. Dan yang keempat, tentang perjalanan dakwah Nabi SAW di kedua periode yakni Makkiyah dan Madaniyyah, termasuk penjelasan hukum-hukum yang berkaitan semisal shalat, haji, hijrah dan jihad.

Berkaitan dengan itu, Ahmad Abdurrahman pun mengulang, bahwa Sultan Muzhafaruddin merupakan amir (pemimpin daerah) yang diangkat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.

“Ia sekaligus panglima pemberani yang senantiasa membersamai sang Sultan di berbagai pertempuran melawan Salibis-Eropa,” ujar Ahmad Abdurrahman.

Ia, lanjut Ahmad, bahkan dinikahkan dengan saudarinya, yakni Rabi’ah Khatun binti Ayyub. “Dengan kata lain, tokoh yang mengawali peringatan maulid Nabi SAW di kalangan ahlussunnah merupakan bagian dari gerakan pembebasan Baitul Maqdis (Palestina),” ungkap Ahmad Abdurrahman.

Untuk ditambahkan, gerakan pembebasan tersebut dipelopori al-Malik al-’Adil Sultan Nuruddin az-Zanki dan al-Malik an-Nashir Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yang masih menurut Ahmad Abdurrahman, berkaitan pula dengan harakah islahiyyah Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i dan Sulthan al-Auliya’ Imam Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali.

Maknanya, silsilah ilmu dan amal yang menghimpun para ulama, umara dan masyarakat ini memang digunakan untuk memperbaiki kondisi umat di masa serangan Salibis-Eropa terhadap Syam al-Mubarak, khususnya Baitul Maqdis.

Sehingga tak aneh, dari sinergi yang terjalin kuat ini menjadikan Sultan Nuruddin yang bermazhab Abu Hanifah, berjuang bersama Sultan Shalahuddin yang bermazhab Syafi’i.

“(Bahkan) di antara pasukan mereka terdapat Syaikh al-Islam Imam Muwafaquddin Ibn Qudamah al-Hanbali, penulis kitab Al-Mughni,” imbuhnya, yang berarti sinergis keilmuan sudah terbentuk dari kedua imam yang berbeda mazhab pemikiran (akidah) maupun hukum (fikih) baik al-Ghazali maupun al-Jailani.

Pun diketahui, Sultan Muzhafaruddin membangun dua madrasah di Irbil, masing-masing bermazhab Hanafiah dan Syafi’iah. “Istrinya, Rabi’ah Khatun, membangun madrasah Hanabilah,” tambahnya.

Berlanjut ke Nusantara

Semangat yang sama ini, berlanjut dan dapat ditemukan pula pada Kesultanan Banten Surasawan, yakni spirit para ulama-umara dalam berjihad melawan kafir penjajah Eropa, sejak era Portugis hingga Belanda.

“Meriam Ki Amuk yang tersimpan di Keraton Surasawan menjadi saksi perjuangan Cirebon-Banten-Demak melawan musuh Khilafah Utsmaniah,” beber Ahmad Abdurrahman.

Apalagi sejak datangnya amanah dari Makkah, ‘peringatan resmi’ Maulid Nabi SAW pun dimulai dan dilaksanakan Kesultanan Banten Surasawan.

Selain di Banten, terdapat pula tradisi Grebeg Mulud di wilayah Kesultanan Mataram Islam, yang dikatakan melanjutkan dakwah Sunan Kalijaga melalui tradisi Sekatenan.

Malahan, kembali ke pusat kekhilafahan, dikenal kemudian secara luas ‘bacaan’ maulid di kalangan Utsmaniah kala itu sebagai Mawlid an-Nabi asy-Syarîf karya Syaikh Sulaiman Celebi (Jalabi).

“Adapun di masa selanjutnya dapat ditelaah dari sekian ‘bacaan’ maulid Nabi SAW yang dikenal di Nusantara semisal Maulid al-Barzanji, Maulid ad-Diba’i dan Maulid Simth ad-Durar,” tandasnya.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa momentum peringatan maulid pada masa Daulah Shalihiyah bukan hanya menunjukkan betapa kuat kecintaan (mahabbah) kepada Rasulullah SAW, namun juga kesatuan gerak antara ulama, umara dan masyarakat.

Yang dengan semangat itu, kaum Muslim tak hanya mampu melawan penguasaan Salibis-Eropa atas Baitul Maqdis selama seratus tahun, tetapi di Nusantara pun aktif berjihad melawan kafir penjajah Eropa.

Karenanya, semangat perjuangan menegakkan kembali institusi penyatu seluruh umat Islam sedunia tak boleh hilang dari benak umat Islam. “Oleh karena itu, semangat perjuangan Sultan Muzhafaruddin dan para penerusnya tak boleh hilang,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: