Pengamat: Seruan Tolak Bayar Pajak Mestinya Disambut Publik

 Pengamat: Seruan Tolak Bayar Pajak Mestinya Disambut Publik

Mediaumat.id – Seruan warganet untuk tidak membayar pajak, menurut Pengamat Kebijakan Publik Dr. Erwin Permana mestinya disambut publik karena pajak merupakan kezaliman. “Saya kira publik sambut saja seruan dari warganet itu, karena bagaimanapun pajak itu kan kezaliman” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (2/3/2023).

Lantaran, jelas Erwin, seruan warganet itu seruan yang sangat lumrah, sangat wajar, sangat manusiawi maka publik sebagai semestinya menyambut seruan itu.

Haram

Erwin mengatakan, Islam itu mengatur harta dengan cara-cara yang dibolehkan. Misalnya zakat, waris, hibah, wakaf dan seterusnya, enggak ada pajak. “Jadi, pajak itu haram kecuali dalam kondisi tertentu misalnya dalam kondisi kas negara sedang kesulitan dan dipungut hanya untuk orang-orang Muslim yang kaya saja dan kebijakan itu harus segera dihentikan ketika kondisi negara sudah mulai kembali stabil,” terangnya.

Melihat kondisi Indonesia hari ini yang menjadikan pajak itu 80 persen lebih sebagai sumber APBN, padahal negara Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya, Erwin menilai mestinya kekayaan negara itu digunakan sebagai sumber pendapatan negara bukan dari pajak.

“Pajak itu merupakan suatu bentuk kezaliman. Beban bagi masyarakat. Pajak itu beban perekonomian, yang seharusnya membeli barang tertentu harganya murah, tapi karena ada pajak, misalnya pajak pembelian, harganya jadi mahal,” ungkapnya.

Zalim

“Masyarakat menanggung beban pajak. Ditambah lagi dengan kehidupan para pemungut pajak yang foya-foya, yang luar biasa. Ada yang punya jet pribadi, punya tabungan puluhan bahkan ratusan miliar, punya rumah banyak banget, udah gitu mereka melakukan laporan pajak kepada negara. Sedangkan masyarakat diwajibkan untuk laporan perpajakan. Itu kan betapa buruk dan zalim,” tambahnya.

Erwin menilai negara dengan sumber daya yang ada seharusnya tidak memungut pajak kepada rakyatnya.

“Bagaimanapun pajak itu beban, maka negara itu seharusnya tidak menjadi beban bagi masyarakat. Negara itu melayani masyarakat, mengeluarkan masyarakat dari bebannya. Masyarakat ini tanpa pajak pun sudah berat bebannya. Maka negara harus memberikan kehidupan. Ngasih duit negara ke masyarakat, mestinya gitu, dari kekayaan yang dimiliki negara,” bebernya.

Kategori Kepemilikan

Erwin menuturkan, Islam membagi kekayaan atau kepemilikan itu ke dalam tiga kategori. “Milik umum, milik individu juga milik negara,” ujarnya.

Kepemilikan umum itu, kata Erwin, enggak boleh diswastanisasi. “Sekarang kan semua kepemilikan umum itu diswastanisasi. Ada nikel, batubara, itu kan milik swasta semua itu. Hutan, emas itu milik kita. Tinggal diambil lagi aja. Berani enggak negaranya? Kalau negara enggak berani, enggak akan pernah keluar,” tegasnya.

Ganti dengan Islam

Maka, lanjut Erwin, dibutuhkan negara yang berani mengambil itu. Pemimpin yang berani. Negaranya berani, sistemnya berani, pemimpinnya berani. “Maka, memang kita harus ganti rezim ganti sistem. Ganti dengan sistem Islam. Karena kalau nggak diganti kita akan gini-gini terus,” bebernya.

Erwin menegaskan jika sistem yang diterapkan saat ini tidak diganti maka akan mempertahankan kezaliman. “Kita mempertahankan keburukan yang ada. Itu secara fakta empirik.

“Dan secara keyakinan (iman) itu kita bermaksiat kepada Allah. Muslim yang tidak mau diatur dengan syariat Islam itu sama dengan dia tidak ridha Allah sebagai Tuhannya. Padahal senantiasa mereka mengaku bahwa kami ridha, Allah Tuhan kami, Islam agama kami, eh syariatnya dicampakkan. Jadi itu pengakuan palsu. Maka Muslim sejati harus senang, menginginkan, bahkan rindu banget dengan diatur oleh syariat Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *