Pengamat Sebut Lima Kepentingan Jokowi

Mediaumat.info – Pengamat Kebijakan Publik Dr. Ihsanuddin Noorsy menyebut lima kepentingan Jokowi dalam mengamankan kekuasaan.

“Saya bilang ada lima kepentingan. Kepentingan yang paling utama bukan sekadar kepentingan material tetapi kepentingan perlindungan,” ungkapnya dalam video Skenario Sontoloyo! Direncanakan Jauh Sebelum PilPres?! Pengamat Nekat Bocorkan Data Ini!! di kanal YouTube Refly Harun, Jumat (8/3/2024).

Perlindungan yang dimaksud Noorsy adalah perlindungan kasus Gibran dan Kaesang di KPK (tahun 2015). “Jokowi, suka atau tidak suka, sama seperti SBY yang tidak ingin Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) masuk ke KPK (2014),” tegasnya.

“Yang kedua Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), harus juga diamankan karena Ahok yang menyatakan tegas-tegas bahwa kalau bukan karena pengembang, Joko Widodo tidak bisa jadi presiden,” ujarnya.

Kalau mengamankan Ahok, ucapnya, berarti ada kepentingan pengamanan para konglomerat, termasuk kasus Johnny G Plate.

“Jadi alasan Gibran, alasan Ahok, alasan Johnny G Plate, dan yang paling penting adalah alasan kasus kereta api cepat dan kasus IKN (Ibu Kota Nusantara),” tandasnya.

Pada kasus kereta api cepat, sambungnya, pada 25 Juli 2022 di Beijing sudah muncul kesepakatan bahwa pemerintah Indonesia akan memberikan jaminan APBN.

“Jadi, cost over atau membengkaknya biaya yang terjadi itu menggambarkan beberapa hal di belakang soal saham kereta api cepat. Apalagi kemudian terjadi macam-macam perubahan dari Gambir sampai akhirnya ke Halim. Atau sekarang bukan trans kereta api cepat Jakarta Bandung tapi sesungguhnya high speed railway trans Jawa yang ujungnya dari Jakarta sampai dengan Banyuwangi,” urainya.

Menurutnya, di balik kereta api cepat ini ada problem yang luar biasa, hanya kadang diputarbalikkan sehingga keluar kata-kata siapa bilang APBN tidak mampu.

Cawe-cawe itu bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama apa yang disebut dengan discretionary policy yaitu suatu kebijakan yang didasarkan atas kebebasan seorang pemimpin mengambil kebijakan, dan itu berarti menyangkut berbagai kebijakan lain. Kedua, mandatory policy yaitu satu kebijakan yang didasarkan atas perintah,” bebernya.

Kalau diterapkan pada kasus kereta api cepat, jelasnya, yang kemudian nanti terhubung dengan cawe-cawe Jokowi ada di mana? Sesungguhnya ada dalam konstruksi keinginan melakukan discretionary policy untuk mencapai mandatory policy karena sudah menjadi program.

“Ketemu problematik ruetnya. Gimana ruetnya? Sesungguhnya di belakang kereta api cepat ada turnkey (skema proyek, si pemilih proyek ‘terima jadi’ dari kontraktor) namun kemudian malah keluar jaminan (dari APBN). Jadi sesungguhnya kereta cepat itu bermasalah dari segi pembiayaan. Ini sama dengan IKN!” ulasnya.

Ia menerangkan, IKN sebelum masalah ekspor pasir muncul, sejumlah konglomerat atas undangan Duta Besar Indonesia untuk Singapura membawa konglomerasinya ke IKN.

“Kalau kita melihat ini, maka cawe-cawe sebagai preemptive policy (tindakan untuk mencegah dilakukannya tindakan lain) sesungguhnya bukan variabel tunggal. Ketika bukan masuk variabel tunggal tinggal kita lihat siapa yang bersih? Saya tanya sama teman-teman semua, siapa partai yang bersih dari keterlibatan ini semua, ada enggak? Kalau Anda sudah bilang enggak ada, berarti harapan untuk pemakzulan sesungguhnya hampir-hampir tidak ada,” terangnya.

Apalagi, imbuhnya di balik tokoh berpengaruh Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi) ada beberapa tokoh penting dari East-West- Center.

“East-West- Center adalah sebuah lembaga think tank NGO (non-govermental organization) di bawah binaan Kementerian Luar negeri Amerika yang mencoba memengaruhi beberapa tokoh untuk menelurkan atau melanjutkan kebijakan-kebijakan mereka. Jadi kita tahu ini pertarungan apa,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Share artikel ini: