Pengamat: Resolusi 2669 DK PBB Tak Efektif Hentikan Genosida terhadap Etnis Rohingya

Mediaumat.info – Resolusi 2669 yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada pertemuannya ke-9231 (21/12/2022) untuk menuntaskan permasalahan kemanusiaan di Myanmar, secara praktik dinilai tak efektif mengakhiri upaya pemerintah Myanmar membantai etnis Rohingya.

“Dalam praktiknya, Resolusi 2669 tidak efektif menekan pemerintah Myanmar untuk mengakhiri pembantaian,” ujar Pemerhati Politik Faisal Syarifudin Sallatalohy di akun Facebook pribadinya, Faisal Lohy, Rabu (20/12/2023).

Pasalnya, tak satu pun pasal di dalamnya yang memuat tentang ketentuan sanksi, embargo, pidana, apalagi pendekatan yuridis untuk mengadili pemerintah dan militer Myammar di pengadilan internasional.

Ditambah, resolusi ini dilahirkan tanpa mengadopsi ketentuan Bab VII Piagam PBB tentang tindakan penegakan hukum sehubungan dengan ancaman terhadap perdamaian, dan tindakan agresi (Pasal 39-51).

Kata Faisal, hal ini sejalan dengan penjelasan hukum Mahkamah Internasional dalam penanganan resolusi Dewan Kemanan PBB untuk kasus Namibia, Afrika Selatan.

“Dalam paragraf 113, Mahkamah Internasional menjelaskan: Bahwa segala tindakan hukum dalam resolusi yang dihasilkan Dewan Kemanan PBB hanya bisa dilaksanakan dengan mengadopsi ketentuan dalam Bab VII Piagam PBB,” ungkapnya.

Sementara, seperti diketahui bersama, narasi yang digunakan dalam Resolusi 2669 juga tidak ditulis dengan menggunakan bahasa yang bersifat wajib, melainkan nasihat, kecaman, kutukan.

Ditambah, dengan menggunakan penjelasan Paragraf 114 Mahkamah Internasional dalam sidang masalah Namibia, misalnya, Resolusi 2669 tidak dimaksudkan untuk membebankan kewajiban hukum kepada Myanmar untuk menghentikan genosida terhadap rakyatnya sendiri.

Sehingga sekali lagi Faisal memaparkan, tanpa mengadopsi ketentuan Bab VII Piagam PBB, resolusi ini tidak memiliki jaminan untuk penegakan hukum di Myanmar.

Strategi AS-Inggris

“Resolusi 2669 adalah strategi politik Amerika dan Inggris mengambil simpatik pemerintah Myanmar untuk kepentingan militer dan ekonomi,” sambung Faisal.

Artinya, resolusi ini hanyalah basa-basi politik adidaya di Dewan Keamanan PBB yang tidak mengikat secara hukum untuk dilaksanakan dan ditaati oleh pemerintah Myanmar.

Untuk diketahui, Myanmar sendiri adalah konsumen terbesar Rusia dan Cina untuk beberapa produk ekonomi dan militer.

“Sejak kudeta militer berlangsung, Cina agresif memadukan dimensi ekonomi, politik, dan militer dengan alokasi dana investasikan sebsar US$113 juta di Myanmar,” ungkapnya.

 

Melihat hal ini, AS pun tak tinggal diam. “Lewat provokasi dan rekayasa Undang-Undang Myanmar tahun 2021, Amerika memberikan dukungan kepada Pemerintah Persatuan Nasional dan kelompok perlawanan untuk merusak provokasi Tiongkok yang mendukung Min Aung Hlaing demi melawan pengaruh Amerika,” tambahnya.

Termasuk, imbuh Faisal, dana perlawanan yang disalurkan Amerika untuk kampanye perlawanan boikot produk Tiongkok dan ujaran kebencian terhadap investasi Cina-Rusia,” kata Faisal.

Dengan demikian, tampak jelas sekali Resolusi 2669 yang seolah-olah menekan pemerintah dan militer Myanmar agar menghentikan pembantaian, justru digunakan AS dan Inggris sebagai alat politik untuk menyerang citra Rusia dan Cina yang selama ini mendukung Myanmar membantai Muslim Rohingya.

Untuk itu, sebagai sesama Muslim khususnya, seharusnya tak tega membiarkan mereka menjadi manusia tanpa negara yang terombang-ambing di tengah lautan, hidup tidak layak, dikurung seperti binatang, tanpa punya kebebasan, pendidikan, kemiskinan, kematian di kamp-kamp pengungsian, menjadi sasaran perdagangan orang (human trafficking).

“Lebih baik bagi Allah, kehancuran Ka’bah batunya satu demi satu. Itu lebih ringan diterima Allah daripada tumpahnya darah seorang Muslim,” pungkasnya, mengutip sebuah hadits.[] Zainul Krian

Share artikel ini: