Pengamat Politik Ini Tegaskan Pentingnya Mengoreksi Penguasa

 Pengamat Politik Ini Tegaskan Pentingnya Mengoreksi Penguasa

Mediaumat.id – Pengamat Politik Dr. N Faqih Syarif H, M.Si. mengungkapkan pentingnya aktivitas mengoreksi penguasa. “Aktivitas muhasabah itu penting, mengoreksi kesalahan sesama Muslim, apalagi mengoreksi penguasa,” tuturnya dalam Kabar Petang: Mengoreksi Penguasa adalah Kewajiban, Mengapa Dibungkam? di kanal YouTube Khilafah News, Jumat (24/6/2022).

“Tetapi objeknya adalah kebijakan. Itu boleh dan harus dilakukan,” sambungnya menegaskan.

Artinya, ketika suatu kebijakan penguasa dinilai zalim, memperjualbelikan kepemilikan umum sehingga menzalimi rakyat misalnya, maka mengkritisi menjadi sebuah keharusan.

Dan hebatnya, kata Faqih, hanya Islam yang mengajarkan demikian. “Kalau saya perhatikan mungkin hanya Islam yang mengajarkan ada aktivitas yang disebut dengan muhasabah,” bebernya.

Sebagaimana telah menjadi sorotan berbagai pihak, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), setelah hampir tiga tahun mandek.

Bahkan akhir Mei 2022, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Komisi III DPR RI telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) mengenai RKUHP dimaksud.

Namun banyak pihak termasuk Dr. Faqih Syarif, menyayangkan perihal pemerintah dan DPR yang hingga kini belum mau membuka draf terbaru RUU tersebut. Padahal revisi KUHP ditargetkan rampung pada Juli tahun ini.

“Karena RKUHP-nya enggak bisa diakses, saya juga belum bisa menelaah lebih lanjut. Tetapi kalau hawa-hawanya, tidak jauh beda seperti tiga tahun lalu,” ucapnya.

Sebagaimana pun diketahui, salah satu pasal yang menuai banyak penolakan misalnya terkait penghinaan terhadap pemerintah atau penguasa.

Oleh karena itu, lanjut Faqih mensinyalir, bahwa kekuasaan hari ini memang tidak transparan dan sarat kepentingan oligarki, yakni bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elite kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

“Mungkin karena khawatir, takut dikoreksi, takut dikritisi, kemudian enggak bisa diakses. Tahu-tahu nanti ditandatangani. Kan sudah seringkali begitu,” ujarnya.

Lantaran itu, peran masyarakat terutama para intelektual, ulama, harus senantiasa mewaspadai serta mengkritik seluruh kebijakan pemerintah yang dinilai bakal merugikan kepentingan umum.

Pasalnya, aktivitas muhasabah tersebut dalam rangka menyelamatkan bangsa dan umat. “Bukan kemudian kritik terus dianggap benci, kritik kemudian dianggap lawan, kritik dianggap musuh, kemudian dibungkam,” sindirnya terkait sikap terhadap pihak yang dinilai berseberangan dengan rezim.

Dengan kata lain, melakukan muhasabah, terlebih kepada penguasa zalim sebenarnya bentuk kepedulian kaum Muslimin terhadap penguasa agar selamat pula dari api neraka.

Sehingga kembali Faqih menilai, sikap tersebut memperjelas bahwa rezim memang tak mau dikoreksi dan dikritisi. “Katanya demokrasi, kok malah anti demokrasi,” senyumnya.

Bahkan menurutnya, semakin ke sini rezim bertambah aneh. “Semakin ke sini semakin memuakkan. Kalau dalam bahasa Surabaya itu rodok gak waras,” selorohnya, yang berarti ‘sedikit gila’.

Pahala Besar

Ia menjelaskan, aktivitas muhasabah bagian dari amar makruf nahi mungkar yang pahalanya besar di sisi Allah SWT.

Apalagi dengan melakukan aktivitas tersebut, mampu menjadikan seorang Muslim mendapatkan gelar umat terbaik dari-Nya, sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya,

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah’ (QS Ali Imran: 110).

“Di sinilah kemudian pentingnya untuk melakukan muhasabah, untuk mengoreksi, apalagi muhasabah lil hukam (kepada penguasa),” tekannya, seraya menukil hadits Nabi SAW, yang artinya,

‘Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim’ (HR Abu Dawud).

Berangkat dari keyakinan itu, kata Faqih, umat Islam tentu harus berbeda dengan senantiasa berupaya memantaskan diri menjadi umat yang terbaik.

Maksudnya, seperti diterangkan dalam Al-Qur’an, berbeda dengan kaum Bani Israil yang telah dilaknat oleh Nabi Dawud as, Isa as, karena selalu mendiamkan kemungkaran.

Di riwayat lain malah disebutkan, ‘Jikalau satu kaum itu sudah tidak ada lagi orang yang beramar makruf nahi mungkar, maka akan ditimpakan pemimpin yang zalim, dan doa orang-orang shalih tidak dikabulkan oleh Allah.

‘Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan (HR al-Bazzar).

Di riwayat yang lain pula, dari Al-Hakim dan Ath-Thabrani, misalnya, Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (dengan kemakrufan) dan melarang (dari kemungkaran) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya.’

Kalaulah kemudian tidak dibunuh, jelas Faqih, di dalam riwayat yang lain diterangkan, keburukan di sisa umurnya sampai menjelang kematian, tidak akan dicatat oleh Allah SWT. “Kalau toh kemudian tidak dibunuh, di dalam riwayat yang lain disebutkan, sisa umurnya sampai menjelang kematian, dia tidak ditulis,” ulasnya.

“Luar biasa aktivitas muhasabah lil hukam ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *