Pengamat: Negara Pegang Peranan Penuh Jalankan Syariat Islam
Mediaumat.info – Merefleksi 100 tahun dunia tanpa khilafah, Pengamat Pendidikan Maya Puspitasari, S.Pd., M.Sc., Ph.D. menegaskan, negara memegang peranan penuh dalam menjalani syariat Islam secara keseluruhan.
“Negara juga memegang peranan penuh dalam menjalani syariat Islam secara keseluruhan,” ujarnya kepada mediaumat.info, Jumat (8/3/2024).
Pasalnya, tidak sedikit hukum Islam yang hanya boleh dilakukan oleh negara, bukan individu atau masyarakat.
Sebutlah di antaranya, apabila ingin mengeliminasi pergaulan bebas di tengah-tengah pelajar, tentu solusinya bukan menggalakkan pendidikan seks sejak dini di sekolah.
Sebab, kata Maya memaparkan, solusi tersebut tidak mampu menangani naluri melestarikan keturunan (gharizah nau’) yang tengah bergejolak di usia remaja.
Artinya, jelas Maya, negara perlu mengambil peranan untuk memberikan hukuman bagi para pelaku seks bebas yang bisa memberikan ‘rasa kapok’ dan pencegah bagi yang berniat melakukan.
Namun demikian, Maya mengingatkan, untuk menerapkan sistem yang mampu memberikan manfaat tersebut, selain negara yang menjalankan syariat Islam, diperlukan pula elemen berupa ketakwaan individu, maupun kontrol masyarakat.
Bukan tanpa dasar, kata Maya menegaskan, sistem kehidupan Islam yang dimaksud berasal dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui seluruh ciptaan-Nya.
Simbol Kejayaan Islam
Terlepas dari itu, terang Maya, kekhilafahan Islam yang telah memerintah selama berabad-abad, menjadi simbol kejayaan dunia Islam.
“Tetapi sejak 100 tahun keruntuhan, tepatnya tanggal 3 Maret 1924, kaum Muslim yang sebelumnya bersatu dalam satu pemerintahan, tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara bangsa hingga saat ini,” ungkapnya.
Menurutnya, selain berdampak pada sistem politik dan ekonomi, keruntuhannya juga berdampak pada sistem pendidikan.
“Dukungan penuh kepada rakyat dalam bidang pendidikan, baik melalui pendanaan institusi pendidikan, penyelenggaraan kurikulum, maupun promosi ilmu pengetahuan dan seni, pada akhirnya mengalami penurunan atau bahkan menghilang,” ulasnya.
Tak ayal, beber Maya, perkara ini mengakibatkan berkurangnya akses pendidikan yang sebelumnya tersedia luas bagi masyarakat.
Dengan kata lain, jelas Maya, Islam yang tadinya menjadi mercusuar pendidikan pun akhirnya ditinggalkan oleh kaum Muslim karena mereka lebih memilih menerapkan sistem pendidikan sekuler yang diadopsi dari Barat.
Padahal, terang Maya, sistem pendidikan sekuler yang pada dasarnya memisahkan agama dari kurikulum sekolah, akan lebih fokus pada pembelajaran yang bersifat non-agama atau ilmiah.
Sementara, menurutnya, hal ini dapat memengaruhi cara pandang dan pemahaman masyarakat terhadap Islam itu sendiri dan menganggap bahwa agama yang mereka anut sekadar mengatur kehidupan pribadi saja.
Maka di saat yang sama, ia pun tak heran jika semakin banyak ditemukan peristiwa tawuran antar sekolah, pergaulan bebas, perundungan dan peredaran obat-obatan terlarang yang melibatkan pelajar.
“Lebih celaka lagi, sekolah yang mencetak lulusan agar mampu masuk ke perguruan tinggi terkemuka, misalnya, lebih banyak diminati oleh orang tua dibandingkan sekolah yang mencetak para penghafal Al-Qur’an,” sebutnya.
Menurutnya, kurikulum yang diadopsi sekolah saat ini tidak banyak yang menghubungkan antara konsep teori ilmiah dengan ilmu agama. Sehingga kerap muncul pertanyaan terkait kuantitas lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang hakikat keberadaan Allah SWT daripada proses fotosintesis sehelai daun, misalnya.
“Berapa persen sekolah yang menanamkan pentingnya menuntut ilmu alat namun tetap menjadikan akidah sebagai pegangan? Apakah masih banyak anak yang tertarik belajar bahasa Arab karena terpukau dengan keindahan ayat-ayat Al-Qur’an? Berapa banyak jurusan-jurusan di perguruan tinggi yang mengintegrasikan teori dengan wahyu yang diturunkan pada Rasulullah SAW?” urainya, seputar potret kondisi dunia pendidikan saat ini yang cenderung sekuler.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, bagi Maya, kaum Muslim dikenal sarat kejorokan, tak mematuhi aturan, suka mengambil hak orang lain, atau bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Ditambah, masyarakat sering anti terhadap agama mereka sendiri karena melihat yang rajin beribadah pun ikut terperosok dalam genangan korupsi. “Bahkan ada pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai Islam yang mulia namun di dalamnya penuh dengan kekerasan atau pelecehan,” imbuhnya.
Karenanya, untuk menegakkan kembali sistem kehidupan Islam, dalam hal ini kekhilafahan, menurut Maya, tidak cukup dengan ketakwaan individu saja. Sebab, menurutnya, masyarakat dibentuk bukan hanya oleh kumpulan individu semata.
“Perlu adanya kesamaan perasaan di tengah-tengah masyarakat. (Semisal) sama-sama memuji para pengkaji ilmu Islam dan benci ketika maksiat ditunjukkan,” pungkasnya. [] Zainul Krian