Mediaumat.news – Menanggapi kebijakan pemerintah yang mengundang asing berinvestasi miras melalui Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Pengamat Sosial Politik Iwan Januar mengatakan ini murni bisnis dan raih devisa ala kapitalisme.
“Jadi, ini murni bisnis dan devisa negara ala kapitalisme; ada pasar, maka ada produksi. Tidak pandang bahwa minuman beralkohol itu menyumbang peningkatan angka kriminalitas di tengah masyarakat,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Kamis (25/02/2021).
wan menilai, kondisi ekonomi yang krisis dan daya saing investasi yang masih kalah dengan negara lain, membuat pemerintah membuka gerbang lebar-lebar untuk investasi asing termasuk untuk industri minuman beralkohol.
Kebijakan yang berimbas dibolehkannya asing berinvestasi di bidang (minuman keras mengandung alkohol, minuman mengandung alkohol, minuman mengandung alkohol: anggur) itu menurut Iwan murni kepentingan bisnis, demi mengejar devisa.
Sebab kata Iwan, pasar minuman beralkohol di Indonesia cukup menggiurkan, terutama di masa sebelum pandemi. Setiap tahun industri ini sumbang devisa lebih dari 5 triliun, dengan ekspor yang terus meningkat.
Padahal ungkap Iwan, kasus kekerasan dan pemerkosaan banyak terjadi ketika pelaku dalam pengaruh minuman keras. “Terakhir, ada balita yang dicekoki miras oleh paman mereka. Apa tidak ngeri tuh?” ucapnya.
Ia mengingatkan, bagi kaum Muslimin sudah jelas industri minuman keras dan distribusinya itu haram. Bahkan Nabi sampai melaknat sepuluh golongan yang terkait dengan pembuatan miras.
Pengharaman itu, ungkap Iwan, juga dijelaskan Allah SWT dengan dampak yang ditimbulkan miras, yakni melalaikan dari mengingat Allah, dan permusuhan maupun kebencian. Kalau orang sudah dalam pengaruh miras emosi gampang naik, lupa diri, kejahatan apa pun bisa dilakukan. Maka Nabi SAW menyebutnya ummul khabaits, biang kejahatan.
Iwan memandang, kalau pemerintah menggelar karpet merah untuk asing dalam investasi minuman beralkohol, sebenarnya sama saja dengan menyumbangkan langsung atau tidak langsung peningkatan angka kejahatan di tanah air.
Dalam soal konsumsi, ia mempertanyakan siapa yang jamin kalangan remaja tidak akan membeli? Regulasi penjualan miras di Indonesia itu barbar. Tak ada sanksi bagi pedagang yang menjual miras pada remaja.
“Sudah jelas dalam Islam ini haram. titik. Semestinya pemerintah mencari cara lain yang lebih pintar dan benar dalam membuka investasi, meningkatkan devisa dan membuka lapangan kerja,” tegasnya.
Iwan menyebut, selama kondisi negeri ini masih jauh dari penerapan syariat Islam, maka industri haram macam apapun bisa diwujudkan. Karena bagi pemerintah yang paling utama adalah perbaikan ekonomi dan menambah devisa. Soal moral dan kerusakan sosial, apalagi halal-haram tidak jadi pemikiran.
Karenanya, sambung Iwan, tak mungkin memberantas industri minuman keras tanpa penerapan syariat Islam. Dan tak mungkin syariat bisa tegak tanpa institusi khilafah. Sebab khilafah akan menggerakkan industri kreatif yang halal dan produktif untuk menggerakkan roda ekonomi. Bukan dengan industri haram macam begini.
Terakhir, Iwan berpesan, industri minuman keras ini berbahaya dari aspek syariat dan akidah. Pengharaman miras/khamr berdasarkan nash yang qath’iy dan tak ada khilafiyah di kalangan ulama tentang haramnya pembuatan, penjualan dan konsumsi minuman keras.
“Bila ada Muslim yang berani menghalalkan industri khamr bisa jatuh dalam status fasik, zalim bahkan batal keimanannya bila ia sampai berani menghalalkan khamr yang sudah jelas haram,” pungkasnya.[] Agung Sumartono