Mediaumat.info – Adanya dissenting opinion (beda pendapat) dari para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan tentang Perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Presiden dan Wapres 2024, menunjukkan ketidakseriusan mendalami kecurangan yang terjadi.
“Fakta tersebut menunjukkan MK tidak serius mendalami adanya kecurangan dalam Pilpres 2024,” ujar Pengamat Politik Dr. Suswanta kepada media-umat.info, Rabu (24/4/2024).
Seperti diberitakan, tahap akhir persidangan di MK terkait pokok perkara Nomor 1 dan 2/PHP.PRES-XXII/2024 ditandai dengan pengucapan putusan oleh Ketua MK Suhartoyo yang menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya, dan dalam pokok permohonan, menolak permohonan Termohon untuk seluruhnya. (www.mkri.id).
Namun demikian, meski amar putusan MK dimaksud menyatakan tidak ada kecurangan, tetapi pada saat yang sama terdapat 3 hakim yang menegaskan sebaliknya.
“Sementara ada tiga hakim yang menyebut memang ada kecurangan dalam Pilpres 2024 secara terstruktur, sistematis dan masif,” ulasnya, sembari menyebut putusan itu sarat dengan kontradiksi.
Menurutnya, sebelum memutuskan MK semestinya melakukan penyelidikan mendalam seputar kecurangan sebagaimana diungkapkan oleh tiga hakim MK yang memberi pendapat berbeda. Bukan hanya mendasarkan pada jumlah hakim yang menolak.
“Di satu sisi bukti paslon 01 dan 03 dinyatakan kurang, tetapi di sisi lain, MK membatasi saksi dan ahli hanya 19 orang saja,” imbuhnya.
Pun pernyataan bahwa tidak ada politisasi bantuan sosial (bansos) dengan alasan tidak ada korelasi antara pemberian bansos dengan perolehan jumlah suara paslon 02. Sedangkan dalam amar putusannya, MK memerintahkan agar penyaluran bansos untuk selanjutnya perlu diatur dalam tahapan pemilu agar tidak memicu penyimpangan.
Dengan demikian, kecurangan untuk memenangkan paslon 02 memang sudah didesain dari awal sampai akhir dengan segala cara. Lebih jauh desain kecurangan ini dinilai untuk melanggengkan kekuasaan oligarki.
“Pilpres 2024, sebelumnya maupun selanjutnya memang dirancang untuk melanggengkan kekuasaan oligarki bukan kekuasaan rakyat,” sebut Suswanta.
Krisis Kepercayaan Publik
Alhasil, putusan MK yang semacam itu dipandangnya telah melahirkan krisis kepercayaan sebagian rakyat terhadap para hakim MK yang menjadi representasi pejabat berikut lembaga negara yang justru dianggap sebagai benteng terakhir keadilan.
Tak hanya itu, rakyat dinilai tidak akan percaya lagi pada proses pemilu dan sistem politik demokrasi yang dipraktikkan di negeri ini. “Termasuk KPU sebagai penyelenggara pemilu dan Bawaslu sebagai pengawas pemilu,” tambahnya.
Terlebih kepada presiden dan wakil presiden saat ini maupun yang akan datang yang notabene menjadi penanggung jawab jalannya pemerintahan.
Padahal, kata Suswanta mengingatkan, kepercayaan rakyat adalah kunci keberhasilan jalannya suatu pemerintahan. Artinya, apabila masalah serius krisis kepercayaan dibiarkan dan makin meluas, maka pemerintahan terpilih bakal memiliki legitimasi rendah.
“Ini problem serius karena de jure Indonesia telah memiliki presiden dan wapres baru, de facto rakyat tidak mengakuinya,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat