Mediaumat.id – Latihan militer besar-besaran yang digelar Cina di wilayah sengketa di Laut Cina Selatan, beberapa hari setelah kapal induk Amerika Serikat berlayar di perairan tersebut, dinilai masih terlalu jauh akan terjadi perang antara Amerika Serikat dan Cina.
“Masih terlalu jauh bila memperkirakan akan terjadi peperangan antara Amerika Serikat dan Cina,” ujar Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana kepada Mediaumat.id, Jumat (29/7/2022).
Menurut Budi, tidak ada sesuatu yang istimewa yang dapat menjadi bellicase terjadinya peperangan diantara kedua negara gajah tersebut. Yang ada adalah bagaimana kepentingan nasional masing-masing negara masih tetap terjaga tanpa harus mengeluarkan effort yang terlalu berisiko, seperti terjadinya peperangan.
Budi melihat, Amerika Serikat tetap berusaha mempertahankan hegemoninya, baik secara langsung maupun melalui sekutu-sekutu tradisionalnya. Sementara Cina terus berusaha meningkatkan leverage politiknya di kawasan, dengan meningkatkan intensitas relasi dan menunjukkan kekuatannya agar dianggap mampu mengimbangi kekuatan Amerika Serikat.
Budi mengungkapkan, negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan tentunya terkena dampak akan rivalitas yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Cina tersebut. Dampak positifnya adalah mereka bisa memainkan posisinya untuk mendapatkan keuntungan politik baik dari Amerika Serikat maupun Cina. Namun dampak negatifnya, mereka bisa menjadi pihak yang menjadi korban, karena arena persaingan kedua negara besar itu ada di kawasan. Seperti pepatah di tempat dua gajah bertarung, yang mati adalah pelanduk.
Terakhir ia mengingatkan, semestinya setiap negara di kawasan Laut Cina Selatan, termasuk para penguasa negeri Islam di sana memiliki kedaulatan yang sesungguhnya. Sebab Amerika Serikat dan Cina telah menjadi pemain global yang selalu memaksakan kepentingannya di mana pun mereka berada.
Oleh karena itu, dengan memiliki ideologi, visi misi berpolitik negara yang jelas, yang independen dan tidak bergantung pada negara lain, sangat penting bagi para penguasa negeri Muslim di sekitar Laut Cina Selatan.
“Agar mereka tidak menjadi objek. Namun, menjadi subjek pengendali terhadap kawasan di mana mereka ada,” pungkas Budi.[] Agung Sumartono