Mediaumat.info – Pengamat Politik Asri Suangga menyatakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menguntungkan investor asing dan rakyat menjadi korban.
“Jika dikatakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ini untuk rakyat, pada faktanya yang menjadi korban adalah rakyat. Yang dapat keuntungan justru para pengusaha, tentunya para pemilik modal dalam negeri atau para pemodal asing (investor asing),” ungkapnya dalam Live Discussion: Dusta KEK sebagai Jalan Menuju Sejahtera, Jumat (22/12/2023) di Fanpage MuslimahNewCom.
Menurutnya, ketika para investor itu masuk ke sebuah wilayah maka tentu persepsinya bisnis, dan tidak mungkin mereka mau membuka industri di KEK kalau dalam pandangan mereka tidak akan menguntungkan mereka.
“Mengapa ini terjadi? karena hari ini kita menerapkan sebuah sistem hidup yang salah. Sistem kapitalis sekuler liberal yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Dikatakan kapitalis karena memang sistem hidup ini selalu berpihak pada pemilik modal. Dalam sistem kapitalis sekuler ini, ada kesalahan paradigma baik paradigma politik maupun ekonomi,” ujarnya.
Politik Demokrasi
Menurutnya, paradigma politik yang dikenal saat ini adalah politik demokrasi. Politik yang memberi peluang adanya perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha karena demokrasi itu mahal. Maka, seseorang untuk bisa sampai kursi kekuasaan membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit dan dia harus mencari dukungan dana dari pemilik modal.
“Setelah seorang yang terpilih itu duduk dikursi kepemimpinan maka kebijakan-kebijakannya tidak berpihak kepada rakyat, tapi kebijakan yang menguntungkan segelintir orang pemilik modal akhirnya kepemimpinan bukan untuk mengurus umat. Sehingga kalau bicara masalah kesejahteraan, sistem kapitalis sekuler punya konsep yang salah,” kritiknya.
Ekonomi Konvensional
Selain itu, jelasnya, dalam pandangan sistem ekonomi konvensional, kesejahteraan itu diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Makanya, kalau mendengar apa yang dikatakan para penguasa hari ini, yang menjadi target ekonomi itu adalah pertumbuhan ekonomi sekian, sekian. Yang dikuatirkan jika pertumbuhan ekonomi melambat.
“Pertumbuhan ekonomi indikatornya GDP (gross domestic product/produk domestik bruto/ PDB). GDP itu adalah jumlah produk yang dihasilkan di dalam negeri, maka ekonomi itu diukur dengan jumlah produksi yang dihasilkan sehingga mereka ingin meningkatkan nilai ekonomi. Peningkatan ekonomi bisa dikatakan berhasil kalau semakin banyak produk yang diproduksi, sehingga fokus sistem ekonomi adalah pada maksimalisasi produksi. Maka itulah banyak industri dibangun di mana-mana untuk memaksimalkan produksi,” urainya.
Kemudian, lanjutnya, dengan memaksimalkan produksi ini akan dilihat sebagai indikator kesejahteraan. Karena mereka melihat secara agregat bahwa indikator kesejahteraan itu ketika dibagi rata berapa pendapatan per kapita di Indonesia hari ini? Pendapatan per kapita di Indonesia rata-rata di kisaran 6 juta per orang per bulan.
“Faktanya itu nilai rata-rata tidak mewakili yang sesungguhnya. Pada faktanya justru banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dibanding orang yang mendapat kesejahteraan,” terangnya.
Maka tidak aneh, jelasnya, untuk memaksimalkan produksi maka dibukalah kawasan industri di mana-mana, KEK di mana-mana. Yang ditujukan untuk pemerataan kesejahteraan padahal faktanya tidak sejahtera.
“Faktanya yang merasakan kesejahteraan itu hanya pengusahanya. Yang ada rakyat kecil itu dieksploitasi untuk mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi,” cetusnya.
Kesalahan Konsep Kepemilikan
Ia melanjutkan, ada kesalahan konsep kepemilikan dalam sistem kapitalis. Yang dikenal dengan freedom of ownership (kebebasan kepemilikan). Siapa pun boleh memiliki apa pun. Maka kita bisa lihat pengusaha dengan modal besar bisa menguasai puluhan, bahkan ratusan lahan,” jelasnya.
“Kemudian jika ternyata ada hak pengelolaan lahan yang itu diberikan pada segelintir pengusaha saja padahal bisa jadi sebetulnya lahan itu milik umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Maka yang terjadi ada kezaliman si kuat pada si lemah,” jelasnya.
Menurutnya, ketika para penguasa itu punya modal besar dan bisa mengurus hak pengelolaan lahan dia bisa seenaknya mengusir rakyat yang ada di lahan tersebut.
“Dia merasa lebih berhak karena punya sertifikat hak pengelolaan lahan dibandingkan dengan rakyat yang sudah mengelolanya sejak puluhan tahun sebelumnya,” ucapnya.
Kesalahan Konsep Pembangunan
Ia juga menyebutkan, kesalahan konsep pembangunan hari ini pada tujuannya. Konsep pembangunan hari ini ditujukan bukan untuk kesejahteraan rakyat tapi semata mata pembangunan infrastruktur itu untuk tebar pesona pada investor, sehingga yang merasakan nikmat pembangunan itu bukan rakyat tapi para, pengusaha(Oligarki). Kemudian pembiayaan pembangunan juga full mengandalkan asing (swasta).
“Karena ada kesalahan tata kelola dari sumber kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri ini. Sumber sumber kekayaan alam yang besar justru di serahkan ke swasta akhirnya tidak masuk ke kas negara, akhirnya negara tidak memiliki biaya untuk melakukan pembangunan dan akhirnya harus mengandalkan swasta,” pungkasnya.[] Rina