Mediaumat.id – Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana menegaskan, harus ada tindakan tegas untuk akhiri kekejaman junta militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya.
“Memang harus ada keberanian untuk melakukan tindakan tegas terhadap Myanmar,” tuturnya di Kabar Petang: Loh, BUMN RI Pasok Senjata ke Junta Otoriter? melalui kanal YouTube Khilafah News, Kamis (12/10/2023).
Meski demikian, lanjutnya, kalau mengandalkan kepada ASEAN tidak bisa, karena ASEAN telah terbelenggu dengan prinsip non-interference (tidak mengintervensi urusan dalam negeri sesama anggota ASEAN).
“Kalau dinaikkan ke level PBB, pertanyaannya apa kepentingan PBB terkait isu ini? Karena ini menjadi ranahnya Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang mempunyai sedikit power untuk melakukan intervensi ke negara lain,” ungkapnya.
Terlebih, sambungnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Myanmar itu dilindungi oleh salah satu anggota dewan tetap PBB yaitu Cina.
“Sementara DK PBB itu mengharuskan ada keputusan bulat ketika akan mengambil tindakan kepada suatu negara. Kalau misalkan ada satu negara yang melakukan veto tentu keputusan itu tidak bisa diambil,” terangnya.
Terlebih, ujarnya, realitas keberadaan organisasi internasional sebagai harapan untuk bisa menyelesaikan problem-problem yang terjadi di berbagai belahan penjuru bumi, terutama terkait dengan isu-isu dunia Islam, tidak menunjukkan pembelaan serius.
“Organisasi internasional tidak menunjukkan pembelaan yang serius terhadap apa yang dialami oleh umat Islam semisal Rohingya yang mengalami tindakan luar biasa kejam dari junta militer Myanmar,” sesalnya.
Menurut Budi, hal itu merupakan buah kolonialisme Barat di dunia Islam.
Ia mengisahkan, dulu Bangladesh, Rohingnya, Myanmar dijajah Inggris. “Di situ ada Islam, Hindu, Budha. Saat Inggris meninggalkan wilayah itu Ingrris juga meninggalkan bom waktu yaitu membagi negara tidak sesaui dengan realitas demografi,” jelasnya.
Kalau pakai nation state (negara bangsa), ucapnya, Rohingnya seharusnya masuk ke dunia Islam bergabung dengan Bangladesh menjadi satu negara.
“Artinya, konsepsi nation state digunakan oleh kolonial untuk memecah belah dunia Islam termasuk meninggalkan bom waktu dengan membuat batas-batas teritorialnya yang sengaja dibuat agar tetap meninggalkan konflik ketika negara kolonial itu meninggalkan daerah tersebut,” urainya.
Ia memberikan contoh lain, Patani di Thailand harusnya masuk Malaysia, Kashmir harusnya masuk Pakistan, Kurdi dipecah, ada yang masuk Turki, Irak dan Suriah.
“Kalau mau konsisten dengan nation state mereka bisa menjadi negara bangsa sendiri. Tapi faktanya ini menjadi alat kolonial untuk memecah belah dunia Islam. Ketika penjajah pergi, negara bekas jajahannya tetap dilanda konflik, sehingga menjadi lemah dan bergantung kepada negara penjajah,” urainya.
Solusi
Budi menuturkan, ada dua solusi untuk menyelesaikan kekejaman junta militer Myanmar ini. Solusi pragmatis dan solusi ideologis.
Pertama, solusi pragmatisnya, mendorong Indonesia (sebagai ketua ASEAN) agar lebih serius memperhatikan nasib kaum Muslim Rohingnya dan menjadi salah satu fokus untuk menyelesaikannya.
Meski demikian, Budi pesimis dengan solusi pragmatis ini karena secara mendasar tidak dibuat untuk itu.
Kedua, solusi ideologis. Umat Islam harus disadarkan bahwa rezim baik nasional atau internasional tidak berpihak kepada kepentingan Islam. “Secara faktual pun rezim internasional itu bentukan negara-negara adidaya,” jelasnya.
Menjadi penting, ujarnya, agar umat Islam itu memiliki negara yang punya leverage (manfaat) politik di level global, punya pengaruh di dunia internasional. Sebab tanpa ada negeri Muslim yang main di level global maka tidak ada negara yang bisa membela kepentingan umat Islam.
“Ini yang menjadi PR besar, karena saat ini dunia Islam leverage politiknya di bawah dominasi negara adidaya. PR-nya di situ, saat dunia Islam berada di level global akan turut bermain di kancah global, memberikan pengaruh di rezim global, membuat tatanan internasional yang betul-betul membela umat Islam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun