Mediaumat.id – Menanggapi pandangan Indonesia sebagai negara berdaulat, pengamat politik Dr. Muhammad Riyan, M.Ag. mengungkapkan, faktanya yang berdaulat dan berkuasa di Indonesia adalah kapitalis oligarki.
“Faktanya yang berdaulat dan berkuasa saat ini adalah kapitalis oligarki, bergerak pada oligarki korporatokrasi yang dikuasai oleh segelintir orang, dengan pengusaha sebagai pihak yang memiliki kedaulatan,” ungkapnya dalam Forum Doktor Muslim (FGD): Outlook Indonesia, Menjadi Negara Berdaulat dan Sejahtera? di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Sabtu (24/12/2022).
Ia menilai, yang menjadi pemilik kedaulatan yang hakiki adalah bukan mereka yang berada di panggung depan, tetapi sesungguhnya mereka yang berada di panggung belakang, bahkan di titik tertentu. “Perspektif tersebut dilihat dari peristiwa politik sepanjang 2022 yang telah dialami Indonesia,” jelasnya.
Sebagai contoh politik IKN (Ibu Kota Negara). Ia mengatakan, pada akhir tahun 2022, pemerintah merevisi UU IKN. Padahal, UU tersebut baru saja disahkan pada awal tahun 2022, dengan asumsi dasar agar bisa menggunakan dana APBN. Meskipun janji presiden bahwa pemindahan IKN tidak membebani APBN, namun faktanya APBN yang digunakan sebesar 53,3 persen.
“Banyak para periset mengawatirkan tentang ide dasar dari kepindahan IKN dengan dominasi oligarki, dan berbagai transaksi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Belum lagi masalah lingkungan dan penguasaan lahan yang menjadi hal yang patut untuk khawatir,” imbuhnya.
Juga pada politik utang (kereta cepat). Ia berpendapat bahwa proyek tersebut begitu dipaksakan. Meskipun banyak pihak yang deep trap, sehingga ada hidden trap yang berasal dari Cina yang jumlahnya sekitar Rp 246 triliun.
“Lagi-lagi dengan pola yang sama. Sehingga menjadi penting untuk nantinya isu kesejahteraan atau kemudian lebih fokus lagi berdaulat atau tidak. Faktanya, semua didanai sebagian besar adalah utang,” jelasnya.
Dalam bidang politik hukum, ia mengatakan, ada problem yang sangat fundamental ketika isu LBGT misalnya, tidak menjadi bagian dari tindakan pidana, sehingga para pelakunya tidak bisa dipidanakan.
Selain itu, adanya pasal-pasal karet yang ada di KUHP yang sangat berbahaya. Ia menyebutkan, salah satunya adalah pasal 188. Meskipun dilaksanakan 3 tahun kemudian, tapi ia melihat ada indikasi kuat adanya pembatasan kebebasan dalam menyampaikan gagasan pendapat, khususnya terkait dengan ajaran yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Meskipun mendapat banyak kritik dari berbagai pihak.
“Bagaimana nanti Pancasila akhirnya menjadi topeng atau alasan untuk kemudian menyingkirkan dan memberangus lawan-lawan politik,” sebutnya.
Dari sederet peristiwa politik, ia mencatat ada dua poin besar, yakni semakin kuat dominasi pandangan sekuler menghasilkan pikiran yang koruptif, karena yang dipraktikkan adalah konsep demokrasi.
“Demokrasi sesungguhnya dari rakyat untuk rakyat, sudah bergeser menjadi apa yang disebut oligarki dengan segelintir orang yang mendominasi pemikiran. Maka, ketika dipraktikkan, akhirnya dikuasai untuk oligarki,” jelasnya.
Ia menilai, hal tersebut yang mendorong terjadinya banyak korupsi di negeri Indonesia dalam berbagai aspek, baik eksekutif, jajaran kabinet, gubernur, bupati, wali kota dan lainnya.
“Ketemulah lingkaran setan dari negara korporasi, yaitu ada penguasa dan pengusaha, kemudian terjebat dalam tiga siklus, yakni korupsi kebijakan, keuntungan oligarki dan pembiayaan politik demokrasi. Sehingga berputar pada 3 aspek yang membuat korupsi tidak pernah teratasi,” pungkasnya.[] Mustaqfiroh