Pengamat: Disintegrasi, Kenyataan yang Harus Diantisipasi
Mediaumat.id – Pengamat Kebijakan Publik Indonesia Justice Monitor (IJM) Ahmad Rizal menilai disintegrasi di Indonesia itu kenyataan yang harus diantisipasi.
“Disintegrasi di Indonesia ini bukan lagi sebuah wacana dan juga bukan sekadar isapan jempol, ini memang sebuah kenyataan yang harus diantisipasi,” tuturnya di Kabar Petang: Pemerintah Kalah Melawan Terorisme OPM? melalui kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (26/8/2023).
Ia mencontohkan, dulu ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada Republik Maluku Selatan (RMS) yang terus bergerak untuk tujuan disintegrasi. Bahkan, lanjutnya, Timor Timur melalui referendum sudah berhasil melepaskan diri.
“Nah sekarang ini Papua kembali bergolak. Sebagian warganya menginginkan kemerdekaan, bahkan belakangan mereka melancarkan aksi unjuk rasa di berbagai kesempatan untuk menuntut referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia,” terangnya.
Rizal lalu berkesimpulan, benih-benih disintegrasi di negeri ini bukan semakin padam malah seperti bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kilatan api yang susah untuk dipadamkan. Padahal, sambungnya, disintegrasi adalah jalan yang memungkinkan kafir penjajah menguasai negeri ini. “Dan ini haram hukumnya!” tandasnya.
Rizal menduga, tuntutan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh asing khususnya Amerika.
“Adanya indikasi campur tangan asing untuk membantu kelompok separatisme Papua ini tampak, paling tidak sejak kehadiran kedubes Amerika pada Kongres Papua. Kemudian dari Australia, Inggris dan beberapa negara asing yang lain,” bebernya.
Konggers ini, sambungnya, menggugat penyatuan Papua dalam NKRI yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, kemudian Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Menurut kongres tersebut bangsa Papua itu telah berdaulat sebagai sebuah negara sejak tanggal 1 Desember 1961. Kongres ini meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua.
Beda
Rizal menyayangkan pendekatan negara terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) ini berbeda dengan pendekatan terhadap umat Islam yang sering dituduh melakukan terorisme. Ia mengutip perkataan KSAD Dudung Abdurrahman yang merangkul KKB Papua dengan menyebutnya sebagai saudara yang belum memahami NKRI.
“Kita patut bertanya, KKB Papua yang sudah membunuh banyak warga layakkah disebut saudara? Bahkan kalau saya katakan ini seperti cinta bertepuk sebelah tangan, karena pihak KKB membantah dengan sangat tegas bahwa KKB punya hubungan saudara dengan Indonesia,” ungkapnya.
Perlakuan Dudung ini, ucapnya sangat berbeda dengan perlakuan terhadap FPI yang akhirnya dibubarkan paksa oleh pemerintah.
“KKB di Papua yang terang-terangan melakukan teror pembunuhan sampai banyak nyawa melayang justru dibiarkan, tidak boleh dimusuhi, harus dirangkul, harus dianggap saudara,” herannya.
Sementara terhadap kelompok yang dianggap radikal, cetusnya, yang mengkritisi kebijakan penguasa atau memperjuangkan penerapan syariat Islam dilawan dengan sistem. “Wajar kalau muncul dugaan bahwa oknum pejabat terjangkiti islamofobia,” tukasnya.
Menimbulkan Kegaduhan
Rizal mengatakan, selama mindset Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masih seperti itu (terjangkiti islamofobia) akan selalu berpotensi menimbulkan kegaduhan.
“BNPT punya anggaran yang besar dan juga punya payung hukum untuk menggelar semua proyek kontrak terorisme yang sudah dirancang,” jelasnya.
Oleh karena itu, ucapnya, publik tidak perlu kaget dan heran jika BNPT selalu memproduksi narasi-narasi yang berpotensi menimbulkan kegaduhan, khususnya di kalangan umat Islam.
“Upaya pemerintah untuk terus melestarikan program deradikalisasi ini sebetulnya adalah upaya yang kontra produktif. Apalagi di tengah banyaknya isu penting yang semestinya itu menjadi fokus pemerintah saat ini. Misalkan terkait dengan problem iKN Nusantara, ekonomi yang makin loyo bahkan disinyalir sedang menuju resesi, korupsi yang semakin menjadi-jadi, utang luar negeri yang semakin tinggi dan lain-lain,” bebernya.
Muak
Rizal berharap, pemerintah memahami keinginan rakyat, khususnya umat Islam yang sudah terlalu muak dengan kondisi bobrok yang menimpa bangsa ini.
“Pemerintah sudah saatnya jujur, menyadari bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah karena syariat Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan,” yakinnya.
Daripada negeri ini makin terpuruk dan juga makin merosot akibat terus menerus diterapkannya ideologi dan juga sistem kapitalisme liberal, ajaknya, pemerintah seyogyanya segera berpaling pada solusi syariah Islam yang pasti mampu menyelesaikan semua problem.
“Bukan malah menuduh syariat Islam sebagai ancaman sekaligus menuding para dai yang mendakwahkannya sebagai kaum radikal. Jika itu tidak dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah memang tidak mau belajar,” kesalnya.
Rizal juga berharap, agar semua komponen kaum muslim baik sipil maupun militer tidak memberikan kesempatan kepada penguasa ,seperti dulu yang telah melepaskan Timor Timur dari negeri ini.
“Kita itu harus ingat bahwa segala keputusan dan juga sikap perbuatan kita hari ini akan berdampak di masa depan baik itu di dunia maupun di akhirat. Jangan membiarkan diri kita tercabik cabik, pertahankan kesatuan dan marilah kita terus berjuang untuk menyatukan seluruh negeri-negeri kaum muslimn,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun