Pengamat: Demokrasi Tidak Ada Hubungannya dengan Islam

 Pengamat: Demokrasi Tidak Ada Hubungannya dengan Islam

Mediaumat.id – Menjawab ada tidaknya keterkaitan demokrasi dengan Islam, Pengamat Politik Luthfi Afandi, S.H., M.H. menegaskan, justru tidak ada hubungannya sama sekali.

“Secara faktual demokrasi itu memang tidak ada hubungan sama sekali dengan Islam,” terangnya dalam Kajian Afkar: Demokrasi sama dengan Musyawarah? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Ahad (17/7/2022).

Pasalnya, lanjut Luthfi, memang ada sebagian orang bahkan dari kaum Muslim sendiri, yang berupaya menjustifikasi bahwa demokrasi itu islami sehingga tidak bertentangan dengan Islam.

“Lantas dicari-carilah apa kira-kira yang relevan, yang kira-kira ada kesamaan. Nah satu hal yang dianggap punya kesamaan yakni musyawarah,” tandasnya, seraya menyampaikan istilah musyawarah di dalam Islam yang dikenal dengan sebutan syura.

Lantas pula dikesankan, syura serupa dengan musyawarah dalam sistem demokrasi. “Padahal enggak ada hubungan sama sekali,” tegasnya lagi.

Demokrasi, menurut Luthfi, bukan sekadar cara memilih pemimpin. Tetapi sistem yang lahir dari sebuah ideologi kapitalisme.

Lebih jauh, sebagaimana penjelasan Jack C. Plano di dalam The International Relations Dictionary, kamus analisa politik, demokrasi adalah sebuah ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal, kebebasan individu, persamaan, martabat, dan persaudaraan, rule of law, serta proses politik yang demokratis.

Apalagi Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke-16, sambung Luthfi, pernah menyampaikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. “Ini yang kemudian menjadi semacam adagium dalam demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,” tukas Luthfi menyayangkan.

“Tetapi kemudian nanti jadi berubah. Dari pengusaha, oleh pengusaha dan nanti kembali kepada oligarki atau pengusaha,” imbuhnya.

Penting diketahui, asas demokrasi adalah sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan. Bahkan kehadirannya untuk menggantikan pemerintahan monarki yang berkolaborasi dengan gereja (teokrasi) pada Abad Pertengahan kala itu.

“Demokrasi lahir sebagai jalan kompromi ketika terjadi konflik antara raja/kaisar yang memperalat para rohaniawan gereja dengan filosof/pemikir yang menolak otoritas rohaniawan dalam mengurus negara,” ulasnya.

Ciri-cirinya, kata Lutfhi, demokrasi merupakan hasil dari akal manusia, bukan dari Allah SWT. Yang lahirnya pun dari prinsip sekularisme.

Kemudian kadaulatannya juga berada di tangan rakyat. Dengan kata lain rakyat berkedudukan sebagai sumber kekuasaan.

Di sisi lain, demokrasi yang merupakan pemerintahan mayoritas mengharuskan terealisirnya kebebasan mutlak dalam hal beragama, berpendapat, berkepemilikan dan berkepribadian atau berperilaku.

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam,” sindirnya, dengan mengutip QS at-Taubah ayat 31.

Islam

Syura sebagaimana telah ia dijelaskan, menurut Lutfhi, sangat bertentangan dengan musyawarah dalam demokrasi. “Sumbernya (syura) dari Wahyu Allah SWT, asasnya akidah Islam yang mengharuskan penerapan Islam secara kaffah,” lugasnya.

Malahan, terkait dengan pendapat seperti halnya demokrasi yang disandarkan pada suara mayoritas, berikut apa pun bisa menjadi objek yang dimusyawarahkan, dalam Islam, kata Luthfi, terbagi menjadi beberapa aspek.

Di antaranya, apabila menyangkut status hukum syariah, standar yang dipakai adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas. “Baru jika menyangkut hal teknis, standarnya suara mayoritas,” ucapnya.

Sementara hal-hal yang memerlukan keahlian, ia menambahkan, standarnya pun bukan suara mayoritas, tetapi pendapat yang paling tepat.

Terlebih persoalan empat kebebasan mutlak seperti yang dianut demokrasi, Islam justru mewajibkan keterikatannya terhadap syariat.

Syura, atau yang telah ia jelaskan sebagai musyawarah di dalam Islam, subjeknya hanya orang Muslim. Sementara dalam demokrasi, semua orang baik Muslim dan non-muslim berhak memutuskan perkara.

Begitu pula objek musyawarahnya. “Islam tidak membahas perkara yang status hukumnya jelas haram dan musyawarahnya tidak untuk mengubah status hukum yang sudah jelas di dalam Islam,” jelasnya.

Sedangkan di dalam demokrasi, semua hal bisa dibahas dan diputuskan termasuk perkara yang sudah jelas keharamannya, semisal khamar, zina, riba, dll.

Dengan demikian, sambungnya, syura memang bukanlah bagian dari demokrasi. Sebaliknya, demokrasi pun bukan termasuk ajaran Islam.

Sehingga pula, firman Allah di dalam Al-Qur’an surah as-Syura ayat 38 bukanlah tentang musyawarah seperti yang digambarkan dalam sistem demokrasi.

‘…Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…’ (QS asy-Syura: 38).

“Ayat ini menjelaskan tentang sifat dan ciri orang beriman yang akan mendapatkan kenikmatan yang kekal dari sisi Allah,” urai Luthfi.

Sebabnya, syura sendiri adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. “Dhamir hum (kata ganti mereka) merujuk kepada kaum Muslim,” tandasnya.

Sehingga, syura sendiri adalah hak kaum Muslim semata, bukan orang kafir. “Perintah bermusyawarah di dalam Al-Qur’an ditujukan untuk kaum Muslim dan dilangsungkan antara kaum Muslim. Tidak untuk dan melibatkan orang kafir,” tambahnya.

Lebih dari itu, kata Luthfi, syura dalam urusan-urusan kenegaraan sekalipun, termasuk perkara strategis dan urgen. Artinya, apabila diketahui orang kafir, dikhawatirkan bakal membuka ruang bagi mereka menimpakan mudarat (bahaya) bagi Islam dan kaum Muslim.

“Membeberkan, mengungkap dan memperlihatkan kebijakan-kebijakan strategis dan urgen kepada orang kafir termasuk perbuatan berbahaya sesuai dengan kaidah, ‘Bahaya harus dihilangkan’,” lugasnya.

Bahkan untuk diketahui, sepanjang kepemimpinan Rasulullah SAW, tidak pernah sekalipun beliau bermusyawarah dengan orang kafir. “Orang yang diminta bermusyawarah adalah orang yang terpercaya,” sebutnya, menukil hadits riwayat At-Tirmidzi.

Maknanya, lanjut Lutfhi, telah dijelaskan oleh Imam Al-Mubarakfuri yang menyatakan, orang yang diminta (diajak) bermusyawarah adalah orang terpercaya dalam perkara-perkara yang ditanyakan.

Oleh karena itu, orang yang diminta bermusyawarah semestinya pun tidak boleh berkhianat, dengan cara menyembunyikan kemaslahatan misalnya.

Pilar Islam

“Ia _(syura)_ merupakan pilar yang menopang eksistensi Islam dan kaum Muslim. Jika urusan semacam ini melibatkan orang kafir, niscaya terbuka jalan bagi mereka untuk merobohkan sendi agama Islam,” tuturnya memaknai.

Hal itu, kata Lutfhi, jelas termaktub dalam _maqalah_ Imam Ibnu Athiyyah tentang urgensitas musyawarah, khususnya bagi seorang khalifah. Beliau berkata:

Syura termasuk bagian dari pilar-pilar syariah dan kewajiban-kewajiban hukum yang berat. Siapa saja yang tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan ahli agama, maka memakzulkan dia adalah kewajiban’ (Al-Qurthubi al-Malikiy, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 4/249).

“Atas dasar itu (pula) orang-orang kafir tidak memilki hak untuk dilibatkan dalam musyawarah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *