Mediaumat.info – Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana memaparkan, dibutuhkan negara superpower (adidaya) yang peduli dengan nilai-nilai kebenaran untuk bisa menuntaskan permasalahan seputar gelombang pengungsi Rohingya yang masih terus terjadi.
“Butuh negara superpower yang peduli dengan nilai-nilai kebenaran,” ujarnya kepada media-umat.info, Selasa (3/12/2024).
Dengan kata lain, bukan adidaya yang peduli serta menggunakan kepentingan nasionalnya saja sebagai pertimbangan untuk bersikap menerima atau tidak para pengungsi, terutama mereka yang berupaya menyelamatkan diri dari kezaliman rezim sebuah negara tempat tinggal mereka.
Tetapi, kata Budi menjelaskan, pertimbangan yang digunakan oleh adidaya dimaksud adalah nilai-nilai kemanusiaan terlebih ikatan akidah sebagai sesama negeri Muslim yang menjadi dasar untuk menerima bahkan menaungi kehidupan para pengungsi dimaksud.
Laporan terbaru dari pemerintah Aceh Timur, misalnya, tercatat 116 pengungsi Rohingya berikut perahu kayu rapuh ditemukan nelayan setempat, dengan kondisi setengah tenggelam tidak jauh dari pantai di lepas pantai Pulau Sumatra timur laut pada Sabtu (30/11).
Malahan bulan lalu, juga dilaporkan ada 152 pengungsi Rohingya yang akhirnya dibawa ke darat setelah berlabuh selama berhari-hari di lepas pantai Kabupaten Aceh Selatan.
Namun, karena cenderung menggunakan ikatan nasionalisme, akhirnya dikhawatirkan akan kembali terjadi insiden seperti pada Desember 2023 lalu yang menyisakan trauma dan ketakutan.
Kala itu, tanpa argumentasi memadai terkait penolakan terhadap pengungsi, sejumlah mahasiswa merusak barang-barang hingga memaksa relokasi lebih dari 100 pengungsi Rohingya dengan menyerbu balai komunitas di Aceh, tempat mereka berlindung.
Pemerintah pun, meski terikat dengan prinsip non-refoulement, yang berarti tidak mengembalikan pengungsi ke negara asalnya jika keselamatan mereka terancam, dalam sikapnya menerima pengungsi Rohingya pun merasa terbebani.
Artinya, Indonesia mempunyai dilema dengan menerima pengungsi Rohingya karena akan menimbulkan potensi beban pada pembiayaan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan harus membiayai untuk makan, tempat tinggal dan sebagainya
Perlu diketahui, Indonesia juga bukan penandatangan konvensi pengungsi PBB dan mengatakan tidak dapat dipaksa untuk menerima pengungsi dari Myanmar tersebut. Sebaliknya pemerintah telah meminta negara-negara tetangga untuk berbagi beban dan memukimkan kembali warga Rohingya yang tiba di pantainya.
Dianggap Urusan Dalam Negeri Myanmar
Karena itu, selain menunjukkan bahwa konflik di Myanmar belum berakhir, gelombang pengungsi Rohingya yang kemudian terdampar di pesisir timur Aceh baru-baru ini juga membuktikan ketidakpedulian negara sekitarnya karena menganggap itu adalah urusan dalam negeri Myanmar.
Organisasi internasional mulai dari ASEAN, PBB, bahkan Mahkamah Internasional (ICC), menurut Budi, juga tak berdaya menangani kekejian rezim Myanmar berikut dampak buruknya atas etnis Rohingya.
Ditambah, alih-alih memberikan solusi paripurna penanganan masalah ini, justru seruan retoris menjadi penghias pidato politik kenegaraan dari negara sekitarnya. “Seruan retoris hanya jadi penghias pidato politik kenegaraan,” ucapnya, menyinggung sikap penguasa negeri Muslim sekitar Myanmar.
Makin celaka, kondisi ini diperparah dengan keberadaan mafia kemanusiaan pencari keuntungan. “Hal ini berkelindan dengan mafia kemanusiaan yang memanfaatkan kondisi untuk mendapatkan keuntungan dari para pengungsi yang mencari tempat aman untuk bisa hidup,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat