Pengamat: Bahaya, Negara Demokrasi Tanpa Oposisi

Mediaumat.info – Pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahwa yang dibutuhkan dalam pemerintahan baru adalah demokrasi gotong-royong dan tidak dibutuhkan lagi oposisi, menurut Pengamat Politik Dr. Suswanta, M.Si. bahaya jika tidak ada oposisi.

“Bahaya jika tidak ada oposisi adalah penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat akan terus lestari bahkan dianggap benar,” ujarnya kepada media-umat.info, Selasa (16/4/2024).

Menurut Suswanta, praktik demokrasi di Indonesia memang unik (berbeda dengan sistem demokrasi yang lazim). Padahal sudah lazim jika bentuk pemerintahan republik dan sistem pemerintahan presidensial itu maka sistem kepartaiannya dwi partai agar stabil dan efektif penyelenggaraan pemerintahannya.

Kemudian, jelas Suswanta, pemenang pemilu menjadi partai penguasa dan partai yang kalah menjadi oposisi. Sebab partai oposisi diperlukan untuk mengawasi dan mengkritisi jalannya pemerintahan sekaligus kekuatan penyeimbang agar penguasa tetap berjalan dalam koridor sistem demokrasi.

Ia melihat, politik merangkul semua pihak yang dilakukan Jokowi sekilas terlihat humanis untuk meminimalkan berkembangnya konflik pasca-pilpres, mengingat kondisi masyarakat yang majemuk, minim literasi politik dan multipartai.

“Akan tetapi praktiknya justru melahirkan stabilitas politik semu dan semakin masifnya penyalahgunaan kekuasaan terutama politik dinasti dan korupsi. Sehingga parlemen dan sebagian besar partai tidak menjalankan fungsi pengawasan karena tersandera dengan kasus korupsi,” jelasnya.

Akibatnya, beber Suswanta, kontestasi politik dengan biaya fantantis hanya menjadi kontestasi semu dan penuh kepalsuan. Rakyat seakan hanya menjadi tumbal kekuasaan.

“Untuk apa berkontestasi jika akhirnya saling berangkulan dan tidak oposisi kritis yang mengontrol jalannya pemerintahan?” ucap Suswanta.

Suswanta membeberkan, oposisi dilarang di negara monarki absolut dan otokrasi. Di negara otokrasi hanya ada satu partai penguasa dan di negara monarki absolut tidak ada partai politik. Dengan kata lain di kedua negara tersebut tidak ada kekuatan penyeimbang, pengontrol dan pengawas jalannya pemerintahan.

“Penguasa memposisikan selalu benar. Rakyat hanya memiliki satu pilihan yaitu harus patuh dan taat kepada penguasa. Tidak boleh mengkritik atau menentang jika tidak ingin dihukum. Untuk itu diberlakukan sistem sentralisasi pemerintahan dan hukum yang represif dengan dukungan kekuatan militer,” ujarnya menjelaskan sistem otokrasi.

Suswanta mengatakan, secara de facto, dengan tidak adanya oposisi Indonesia berarti menerapkan sistem politik otokrasi atau bentuk pemerintahan monarki absolut. Keduanya memiliki persamaan yaitu sentralisasi kekuasaan, penguasa otoriter, antikritik, hukum represif dan kekuatan militer.

Ia menilai, Indonesia di era Soeharto dan Jokowi mendekati praktik politik otokrasi dan penguasa otoriter. Perbedaannya, Soeharto lebih banyak menggunakan stick untuk menggebuk lawan politik, Sementara Jokowi menggunakan stick dan carrot untuk menjinakkan lawan politiknya.

“Penguasa memonopoli kebenaran tafsir kekuasaan. Penguasa akan menggunakan piranti hukum untuk membungkam yang dianggap kritis atau melawan kebijakan pemerintah,” terangnya.

Oleh karena itu, Suswanta mengajak untuk saatnya pencerdasan politik umat melalui dakwah Islam kaffah yang menjelaskan bahwa Islam memiliki bentuk pemerintahan dan sistem politik khas yaitu khilafah yang berbeda dengan bentuk pemerintahan republik dan monarki serta sistem politik demokrasi, teokrasi dan otokrasi.

Relasi antara penguasa dalam perspektif khilafah, terang Suswanta, adalah saling menguatkan dengan landasan tauhid dan syariah. Penguasa menjalankan kewajibannya yaitu mempraktikkan syariah untuk memenuhi hak-hak rakyat. Rakyat berkewajiban menaati penguasa selama mereka menjalankan syariah dengan benar. Sedangkan oposisi diwujudkan dalam bentuk politik amar ma’ruf nahi mungkar dengan dasar syariah.

Suswanta mengungkapkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia dulu adalah bagian dari khilafah Islam. Melalui khilafah, umat Islam sedunia dapat bersatu, syariah Islam dapat diterapkan secara kaffah sehingga pengelolaan sumber daya alam dan manusia di negeri-negeri Islam dapat dilakukan dengan benar untuk kemaslahatan umat, keadilan dan perdamaian untuk semua, serta pemimpin yang amanah dan kebenaran dapat diwujudkan.

Selain itu, jelasnya, pemeliharaan terhadap akal, jiwa, harta, agama, kehormatan, serta keturunan yang menjadi unsur penting peradaban juga dapat terjaga.

“Umat harus diyakinkan dengan pemahaman bahwa penindasan (terhadap) umat Islam di Gaza, Rohingnya, Cina dan India tidak akan dapat diselesaikan oleh PBB atau OKI atau belas kasihan dari Cina, Rusia, Amerika dan sekutunya, tapi hanya dapat diselesaikan sendiri oleh umat Islam,” pungkasnya. [] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: