Mediaumat.info – Pengungkapan tiga situs judol (judi online) dengan perputaran uang Rp1 triliun selama Mei-Juni 2024 oleh pihak kepolisian baru-baru ini patut diapresiasi tetapi tetap dinilai terlambat dan belum secara tuntas menangani persoalan perjudian ini.
“Kita mengapresiasi tindakan ini, walaupun dengan catatan ini terlambat dan belum menangani secara tuntas persoalan judi online di tanah air,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada media-umat.info, Senin (24/6/2024).
Dinilai terlambat, sambungnya, karena judol sudah menjalar luas di tanah air. Di saat yang sama, sudah banyak korban berjatuhan dan menciptakan efek domino kejahatan lain seperti pencurian, penggelapan uang, dsb.
Dikabarkan sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada mengatakan ada tiga situs perjudian yang diungkap oleh pihaknya selama periode Mei hingga Juni 2024. Sementara total 18 pelaku yang berperan sebagai operator judol juga sudah ditangkap.
“Melakukan pengungkapan terhadap tiga kasus judi online dengan website pertama 1XBET, W88, dan Liga Ciputra,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (21/6).
Pula dikatakan dari hasil pemeriksaan penyidik total estimasi perputaran uang selama ketiga situs tersebut beroperasi mencapai Rp1,041 triliun.
Meski demikian, kembali Iwan menyampaikan, pemerintah tidak serius memberantas perjudian termasuk judol hingga ke akar-akarnya. Terbukti judol masih terus berjalan bahkan semakin merajalela di negeri ini.
Sedangkan, negara ini memiliki kekuatan lebih dari cukup untuk sekadar menggulung kejahatan tersebut. Tetapi sekali lagi faktanya, belum apa-apa pemerintah justru terkesan menyerah dengan berbagai dalih seperti sulit memberantas judol, penjara bakal penuh kalau pelaku judol ditangkap.
“Itu pernyataan yang menunjukkan sikap setengah hati memberantas judi online,” cetus Iwan.
Sebagaimana diketahui bersama, dahulu ramai dikampanyekan negara tidak boleh kalah oleh kelompok yang dituding radikal. Karenanya Iwan pun mempertanyakan kenapa sekarang tak muncul kampanye negara tidak boleh kalah oleh jaringan judol.
“Apakah efek bahaya judol tidak lebih merusak ketimbang radikalisme? Faktanya masyarakat sudah menjerit banyak jadi korban judi online,” ucapnya, sembari memaparkan dampak dari perjudian di antaranya menjadikan keluarga berantakan, usaha bangkrut, dan angka kriminalitas bakal meningkat.
Maka itu, menurut Iwan, agar keseriusan itu terjadi secara kompak antara kebijakan negara, pelaksanaan di lapangan, dan juga masyarakat, harus ada penanaman dasar kehidupan yang benar dan kuat. Maknanya, siapapun harus merasa malu dan bersalah bila mencari uang dari judol.
Dalam hal ini agama harus dijadikan falsafah kehidupan masyarakat. Tidak seperti saat ini, kendati melaksanakan ibadah shalat, puasa, tetapi masih saja berjudi. Di saat yang sama, tidak ada sanksi yang menjerakan.
“Bila agama (Islam) jadi falsafah kehidupan, masyarakat akan malu dan jijik dengan perjudian,” paparnya, di tengah kondisi masyarakat yang makin sekuler.
Selain itu, keseriusan juga akan tampak ketika ada hukum tegas dan berat kepada para penyedia judol, termasuk pejabat atau aparat yang terbukti terlibat.
“Jangan ada pengecualian dan privilege, jangan sampai juga ada lembaga negara mana pun yang menjadikan perjudian sebagai sumber pemasukan untuk mereka,” tandas Iwan.
Dengan kata lain, persoalan judol mencakup tiga tahap. Yakni memutus jaringan perjudian online, menangkap dan menghukum para bandar dan siapapun yang terlibat di dalamnya, dan terakhir mencegah masyarakat melakukan tindak serupa. “Nah, ini belum terlaksana,” pungkasnya. [] Zainul Krian