Pengamat: Ada Misleading dalam Mengelola Sumber Daya Minyak

Mediaumat.id – Executive Leadership Coach Mafahim Tun Kelana Jaya menyebutkan bahwa naiknya harga BBM dikarenakan ada misleading (yang menyesatkan) dalam mengelola sumber daya minyak.

“Berarti, ada misleading di dalam mengelola sumber daya minyak,” ungkapnya dalam Series Aktualita: BBM Naik, Siapa Untung? di YouTube Cinta Qur’an TV, Rabu, 7/9/2022.

Ia menjelaskan, misleading yang dimaksud dari sisi bahwa minyak tersebut seolah-olah bukan punya rakyat. Padahal, sumber daya alam yang banyak, menguasai hajat hidup orang banyak, dan akan habis dalam waktu puluhan tahun, keberadaannya itu bukan milik negara, tetapi milik rakyat.

“Negara hanya sebagai pengelola, bukan menjadi pemilik. Namun permasalahannya, negara tahu apa tidak kalau minyak yang dikelola adalah milik rakyat?” tanyanya.

Ia juga menambahkan, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah kepada rakyatnya adalah pendekatan jual beli, bukan pendekatan pengelola dan pemilik. Sehingga pemerintah saat ini merasa terbebani dengan subsidi dan menganggap rugi APBN.

“Seolah, seharusnya kita (rakyat) beli BBM dengan harga Rp14.800 diringankan atau disubsidi menjadi hanya Rp10.000 saja. Di sisi lain kita diperlakukan seperti penjual dan pembeli,” jelasnya.

Selain itu, dari kaca mata bisnis, ia mengatakan, peningkatan konsumsi BBM, beriringan dengan peningkatan jumlah kendaraan. Yakni dengan kemudahan akses untuk mendapatkan kendaraan. Hal tersebut menunjukkan cara berpikir kapitalisme yakni bagaimana negara harus mendapatkan keuntungan yang besar.

“Lagi-lagi, cara berpikir kapitalisme, bagaimana negara harus untung. Akhirnya, treatment yang digunakan adalah bisnis. Ini menjadi persoalan, sampai kapan pun, jika bisnis yang digunakan, maka permasalahan minyak ini tidak akan selesai. Tahun depan pun kita akan berbicara hal yang sama,” lanjutnya.

Ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola tambang minyak juga menambahkan sederet persoalan. Menurutnya, Indonesia memiliki sekitar 128 lubang minyak yang terdeteksi dan hanya 40 persen yang dimanfaatkan. Dan hal tersebut bukan oleh pemerintah, tetapi diserahkan kepada swasta atau asing.

“Kita punya sumur banyak, tapi yang dikelola oleh pemerintah sedikit. Pastinya, hasilnya juga sedikit. Belum lagi yang sedikit itu juga diekspor, dengan alasan kita (Indonesia) tidak sanggup mengelola minyak mentah untuk konsumsi di dalam negeri melalui kilang yang ada,” jelasnya.

Tun Kelana juga mempertanyakan 49 kilang minyak dari tahun 1990, yang seharusnya sudah menjadi kilang minyak, tetapi kondisinya tidak jelas. Padahal, seharusnya dari kilang minyak yang banyak itu, bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

“Kalau mau memenuhi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri, pasti harus punya kilang yang banyak, karena kilang yang dikelola sedikit, akhirnya untuk mencukupi kebutuhan yakni dengan impor,” jelasnya.

Solusi Permasalahan

Tun Kelana menjelaskan, manusia berserikat dalam tiga hal, yakni api (energi), air dan tanah (hutan dan perkebunan). Hal tersebut sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga yang berkaitan dengan hal demikian, tidak boleh dikuasai oleh negara maupun swasta. Tetapi itu adalah milik rakyat yang dikelola negara, dan akan dikembalikan kepada rakyat juga.

“Pemerintah harus menyadari bahwa minyak adalah kepemilikan rakyat, harus dikelola dan dikembalikan kepada rakyat. Sehingga treatment yang diambil bukan asas bisnis, antara pemerintah dan rakyat,” jelasnya.

Untuk itu, ia berpendapat pemerintah dalam hal ini adalah Pertamina, tidak perlu mengambil keuntungan 10 persen. Maka, jika masih dijadikan lahan bisnis, maka sampai kapan pun tidak akan selesai permasalahan minyak tersebut.

Maka, ia menyampaikan bahwa solusi praktis yang bisa dilakukan adalah mengkaji lebih dalam lagi ilmu agama, agar mengetahui urusan lain selain masalah minyak. Kemudian, menyampaikan kepada masyarakat bahwa permasalahan minyak adalah milik rakyat dan harus dikelola serta dikembalikan kepada rakyatnya.

“Yang ketiga, harus berjamaah. Kalau hanya sendiri, tidak akan pernah bisa mengubah pemikiran masyarakat, maka harus berjamaah,” lanjutnya.

“Jangan hanya mengambil solusi yang itu hanya sekadar tambal sulam saja. Ketika bannya bocor, hanya ditambal, bukan diganti saja dengan ban yang baru. Kalau hanya sekadar tambal sulam, sampai kapan pun permasalahan ini tidak akan pernah selesai. Harus diganti dari akar masalahnya, yakni sistem yang digunakan,” pungkasnya.[] Mustaqfiroh

Share artikel ini: