Mediaumat.id – Terkait program pemerintah yang bakal mengalihkan subsidi LPG 3 kg ke kompor listrik dinilai Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta sebagai solusi yang makin memberatkan beban ekonomi rakyat.
“Itu adalah solusi yang makin memberatkan beban ekonomi di tengah himpitan kenaikan harga barang-barang yang bertubi-tubi,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu (29/6/2022).
Diketahui, pemerintah memang akan mengalihkan subsidi LPG 3 kg ke kompor induksi atau kompor listrik. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo saat rapat dengan Komisi VI DPR RI pada Rabu (15/6).
Menurut Darmawan, pengalihan subsidi ini akan menghemat keuangan negara. Dengan kebijakan itu, ia menargetkan pengguna kompor listrik naik menjadi 15 juta rumah tangga tahun ini.
Maknanya, apabila rencana itu benar-benar dijalankan, sambung Hatta, beban ekonomi rakyat semakin tinggi.
Sebutlah pengadaan kompor listrik yang menurutnya relatif lebih mahal. Pasalnya, meski pemerintah juga berencana mengalokasikan dana penyertaan modal negara (PMN) untuk subsidi kompor listrik, tetapi tidak menargetkan pengguna alat dapur dimaksud secara keseluruhan masyarakat.
Belum lagi peralatan memasak yang juga harus disesuaikan dengan kompornya, hingga keharusan menaikkan daya listrik di rumah masing-masing.
Lebih jauh, rakyat juga sangat dimungkinkan akan terpaksa memiliki dua jenis kompor, sekadar mengantisipasi padamnya listrik. “Tidak jarang masih terjadi padamnya listrik secara tiba-tiba. Bahkan dalam waktu yang cukup lama,” ulasnya.
Penting juga diketahui, kata Hatta, pengalihan konsumsi energi dari minyak ke gas dan kemudian saat ini direncanakan kompor listrik, sesungguhnya bermuara dari persoalan cara pandang pemerintah terhadap rakyat dan subsidi, serta tata kelola sumber daya alam (SDA) yang menjadi sumber energi.
Bahkan sejak pemerintahan periode pertama Presiden SBY, blueprint pengelolaan energi nasional 2005-2025, pemerintah telah merencakan melepas seluruh harga energi ke dalam harga pasar alias tidak bersubsidi. “Inilah bentuk liberalisasi energi dan sumber daya alam,” timpalnya.
Dalih Pemerintah
Ia mengungkapkan, setidaknya ada dua hal yang dijadikan dalih oleh pemerintah terkait program pengalihan tersebut. Pertama, persoalan subsidi LPG 3 kg yang dianggap membebani negara dan salah sasaran. Kedua, kelebihan pasokan (over supply) listrik yang diproduksi oleh PLN.
Terkait yang pertama, Hatta menjelaskan, total subsidi (energi dan non-energi) yang dianggarkan dalam beberapa tahun ini justru cenderung berkurang nilainya. “Sejak tahun 2016, nilai total subsidi lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran bunga utang,” terangnya.
“Subsidi berada di angka 174,2 triliun rupiah. Sementara pembayaran bunga utang mencapai 182,7 triliun rupiah,” bebernya, dengan manambahkan, di tahun-tahun berikutnya nilai pembayaran bunga utang semakin jauh lebih besar dibandingkan total subsidi.
Sebutlah tahun 2022. Sebagaimana tercantum dalam Nota Keuangan APBN 2022, pembayaran bunga utang mencapai Rp405 triliun. “Nilai tersebut dua kali lipat jauh lebih besar dibandingkan total subsidi yang hanya 207 triliun rupiah,” jelasnya.
Artinya, yang sebenarnya membebani APBN adalah pembayaran bunga utang, bukan subsidi.
Itu pun belum termasuk pembayaran pokok utang pada tahun 2022 (jangka pendek) yang diperkirakan mencapai Rp481,4 triliun (Bank Indonesia; SUSPI Q4 2021).
“Dijumlahkan dengan pembayaran bunga utang, pemerintah harus mengeluarkan uang mencapai 886.4 triliun rupiah hanya untuk urusan utang,” ucapnya menyayangkan.
Selanjutnya terkait yang kedua, pengalihan tersebut sesungguhnya ditujukan untuk menutup lubang besar potensi kerugian yang berasal dari oversupply listrik 35 gigawatt (GW).
Berawal pada 2021, ungkapnya, PLN melakukan renegosiasi kontrak (power purchase agreement) terhadap 17 dari 34 pembangkit listrik yang sudah siap beroperasi, dalam bentuk memundurkan jadwal operasi.
Sebab jika tidak, PLN akan terkena skema take or pay. “Artinya, dipakai atau tidak, PLN harus tetap membayar setrum listrik yang sudah disiapkan oleh pembangkit listrik pihak swasta,” jelasnya.
“Sementara PLN saat ini menghadapi kenyataan bahwa konsumsi listrik masyarakat cenderung lebih lambat dibandingkan perkembangan proyek 35 gigawatt,” sambungnya.
Meski dari upaya renegosiasi 17 kontrak PLN bisa menghindari potensi kerugian mencapai Rp37,21 triliun, dari keseluruhan kontrak yang diharapkan mencapai Rp60 triliun, pertanyaannya, sampai kapan PLN bisa memundurkan jadwal operasi 17 pembangkit listrik tersebut?
Terlebih 17 pembangkit lainnya, tegas Hatta, pembangunannya masih terus berlangsung alias sudah power purchase agreement.
Sehingga menurutnya, pengalihan penggunaan LPG 3 kg ke kompor listrik dipandang sebagai jalan keluar yang paling logis bagi pemerintah. “Di satu sisi dianggap subsidi salah sasaran, di sisi lain terjadi oversupply listrik,” tandasnya.
Untungkan Kapitalis
Lantas pihak yang bakal diuntungkan dari proyek itu tentu para pemilik modal (kapitalis) yang telah menguasai sektor-sektor energi listrik yang merupakan sektor berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, tanpa terkecuali.
Alih-alih menggunakan paradigma pelayanan, justru celakanya, sektor yang sudah banyak dikuasai oleh pihak swasta menggunakan paradigma untung rugi. “Ini sangat tampak dalam bentuk kontrak mereka dengan PLN sebagaimana yang kami jelaskan tadi,” tegasnya.
Dengan demikian untuk bisa keluar dari polemik sistem pengelolaan listrik tersebut, pemerintah tidak boleh memiliki pandangan dengan kerangka untung rugi ketika mengurusi urusan rakyat.
Pasalnya, bentuk pengurusan dengan paradigma pelayanan telah menjadi kewajiban yang melekat bagi setiap pemimpin. “Persis seperti seorang ayah terhadap anaknya yang harus mengurus urusan anak dan keluarganya,” gambarnya.
Terlebih dalam Islam, SDA termasuk harta kekayaan milik umum yang memang tidak boleh dikuasai oleh individu tertentu, baik itu swasta domestik maupun asing.
Posisi pemerintah pun nantinya hanya sebatas mewakili rakyat untuk mengelola SDA. “Artinya, segala bentuk manfaat dari seluruh sumber daya alam harus dikembalikan kepada rakyat,” tuturnya.
Dengan demikian, tentu saja seluruh bentuk penyediaan energi seperti listrik dan gas bisa dihasilkan dengan harga yang jauh lebih murah.
“Coba bayangkan dari USD6.79 cents untuk produksi listrik per KWHnya, 37% (USD2.52 cents) dari nilai itu dihabiskan untuk membeli listrik dari pihak swasta (independent power producer),” cakapnya.
Contoh lain, kata Hatta, jenis energi yang dipakai oleh PLN untuk menggerakkan mesin pembangkitnya yang tercatat pada tahun 2021, 61.2 persen yang dipakai adalah batu bara. Sedangkan di saat bersamaan batu baranya mayoritas dibeli dari pihak swasta.
“Inilah bentuk liberalisasi pengelolaan sumber daya alam yang meniscayakan mahalnya harga dari setrum listrik,” pungkasnya.[] Zainul Krian