Mediaumat.id – Penetapan upah minimum tahun 2024 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, membuktikan bahwa rezim Jokowi hanya berpihak pada kepentingan pengusaha.
“Membuktikan hanya berpihak pada kepentingan pengusaha dan tunduk pada intervensi kelompok pengusaha,” ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat, dalam keterangan pers yang diterima Mediaumat.id, Rabu (13/9/2023).
Sebutlah Pasal 21 ayat (1) di dalam PP dimaksud misalnya. Pengusaha wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Artinya, PP yang diterbitkan Presiden Jokowi ini, menurut Mirah, kembali mengurangi dasar perhitungan kenaikan upah minimum hanya berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
Padahal, dengan menambahkan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang harus dilakukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, kenaikan upah minimum tahun 2024 bisa sebesar 15%, sebagaimana yang Aspek Indonesia tuntut.
Survei kebutuhan hidup layak yang ia maksud, minimal menggunakan 64 komponen KHL. Hal ini ia dasarkan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.
Tetapi, pasca-terbitnya PP 36/2021 tentang Pengupahan tersebut, menurut Mirah, kenaikan upah minimum di Indonesia menjadi sangat kecil dan tidak manusiawi.
Padahal, PP yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Untuk ditambahkan, berdasarkan PP ini, Kemenaker mencatat kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 hanya naik rata-rata 1,09%.
Sedangkan untuk kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023, Kemenaker justru menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, yang membatasi kenaikan UMP maksimal 10%.
“Secara rata-rata, kenaikan UMP tahun 2023 hanya 7,5 persen,” ulasnya.
Rugikan Pekerja
“Selama berkuasa, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan peraturan pengupahan yang semakin rendah dan merugikan pekerja,” tandasnya.
Terungkap, pada 2015 lalu, Presiden Jokowi juga menerbitkan PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, yang menghilangkan mekanisme survei KHL.
Tak ayal, formula kenaikan upah minimum, ketika itu, hanya berdasarkan akumulasi tingkat inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi.
Karenanya, berangkat dari situ, Mirah mendesak pemerintah untuk tidak memaksakan penetapan upah minimum tahun 2024 hanya berdasarkan PP No. 36/2021 tentang Pengupahan.
Sebagai gantinya, ia meminta pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum tahun 2024, dengan tetap menggunakan formula perhitungan kenaikan upah minimum berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Kenaikan upah minimum harus berdasarkan survei kebutuhan hidup layak, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.[] Zainul Krian