Penetapan 15 Bank Berdampak Sistemik dan Cacat Sistem Ekonomi Ribawi (Dalam Sebuah Analisis)

Oleh: Lukman Noerochim, ST, MSc.Eng, Ph.D (Staf FORKEI)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan 15 bank yang masuk dalam kategori bank berdampak sistemik pada periode April 2018. Penetapan bank berdampak sistemik merupakan amanat Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PKSK). Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan bank yang masuk dalam daftar tersebut merupakan bank yang dengan ukuran tertentu antara lain peningkatan total aset, jumlah kredit dan/atau dana pihak ketiga (DPK), dan aspek risiko lainnya. Bank ini wajib membuat recovery plan yang dikenal dengan istilah bail-in. Pemilik dan manajemen memiliki tanggung jawab menjaga keberlangsungan usaha bank. (http://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/05/04/p861vh366-ojk-tetapkan-15-bank-berdampak-sistemik)

Catatan

Problem modern hari ini ini adalah sistem ekonomi ribawi. Pada saat yang sama, riba pun keberadaannya dilegitimasi oleh negara. Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur kebijakan moneter dan kebijakan yang memperngaruhi sektor riil menjadikan riba/bunga yang dikenal sebagai suku bunga Serifikat Bank Indonesia, suku bunga SBI, sebagai instrument pengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat, penjaga inflasi dan stabilitas kurs rupiah di sektor moneter.

Kebijakan penentuan suku bunga SBI sangat berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi yang sedang dijalankan, contohnya ketika kurs rupiah melemah atas dolar, maka pemerintah berusaha mendongkrak nilai mata uang rupiah dengan cara menarik sejumlah rupiah yang beredar di pasaran dengan cara memberikan iming-iming kenaikan suku bunga SBI dengan harapan masyarakat akan memasukkan uang-uang mereka ke bank untuk mendapatkan keuntungan bunga yang tinggi. Dunia usaha menjadi jadi lesu. Orang lebih suka menyimpan uang di bank dengan bunga tinggi ketimbang menginvestasikannya di sektor usaha riil, karena di sektor riil terdapat resiko rugi. Dengan demikian lapangan kerja berkurang, gelombang PHK terjadi, dan semakin banyaklah angkatan kerja yang tidak tertampung. Dalam keadaan ini yang paling terpukul adalah masyarakat kelas bawah.

Kenaikan suku bunga pinjaman otomatis akan menaikkan suku bunga kredit, sehingga para pengusaha yang mengambil kredit di bank —terutama dalam jumlah besar, seperti pengusaha sektor properti— akan menjadi pihak yang pertama kali terpukul dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain yang gulung tikar karena tak mampu membayar kredit hutang beserta bunganya ke bank, sehingga terjadilah gelombang PHK. Lagi-lagi yang paling terpukul adalah masyarakat kelas bawah.

Kalaupun ada bidang usaha yang masih mampu bertahan saat suku bunga kredit tinggi, maka kenaikan pembayaran bunga kredit akan dikejar dengan cara menaikkan harga jual produksinya. Terjadilah High Cost Economy harga barang-barang menjadi mahal sementara pendapatan rakyat tidak bertambah. Lagi-lagi yang paling menderita akibat inflasi ini adalah masyarakat kelas bawah. Sehingga jelaslah bahwa kebijakan ekonomi ribawi yang diterapkan negara akan selalu menguntungkan para pemodal/juragan, sementara masyarakat kelas bawah akan terus dan semakin menderita.

Dalam perekonomian yang lesu akibat suku bunga tinggi, bank-bank ternyata tidak menyalurkan dana yang disimpannya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit macet apalagi dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi. Bank-bank tersebut justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang tidak berhubungan sama sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke bank lain, membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi, commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan membungakannya pada SBI.

Di tingkat negara riba pun mewabah, hal ini merupakan kewajaran karena ide kapitalisme telah menjadi ide yang mengglobal di dunia, sehingga menjadikan negara yang bermodal besar/juragan selalu diuntungkan sementara negara-negara miskin —notabene negara dunia ketiga yang mayoritas adalah negri muslim— akan selalu menderita akibat belitan bunga hutang.

Adapun penyebab terjadinya krisis moneter yang selalu berulang di Indonesia dan juga kawasan Asia, bahkan juga di negara-negara Eropa dan Amerika, sebenarnya disebabkan adanya faktor internal-substansial dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini. Sistem ekonomi kapitalis ini dirancang sedemikian rupa oleh Negara-negara Barat dengan tujuan untuk mempertahankan hegemoninya terhadap negara-negara berkembang. Di antara prinsip dan pola sistem kapitalis yang menyebabkan terjadinya krisis ini adalah: Sistem perbankan dengan suku bunga; berkembangnya sektor non riil; utang luar negeri yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan; penggunaan sistem moneter yang tidak disandarkan pada emas dan perak; dan liberalisasi atau swastanisasi sumberdaya alam.

Penerapan Sistem ekonomi Islam akan menghasilkan perekonomian yang stabil, jauh dari krisis, tumbuh secara hakiki dan berpengaruh riil pada taraf hidup masyarakat. Sistem ekonomi Islam menghilangkan dan mengatasi lima faktor utama krisis dan ketidakstabilan sistem ekonomi kapitalis itu.

Islam dengan tegas mengharamkan riba dengan segela bentuknya. Allah menegaskan:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS al-BAqarah [2]: 275)

Al-Quran menyebutkan, orang yang makan riba tidak bisa berdiri tegak. Hal itu mengisyaratkan sistem ekonomi yang dibangun berasaskan riba tidak akan tegak stabil. Sebaliknya, akan terus goyang bahkan krisis. Maka dengan menghilangkan riba, perekonomian akan stabil. Lebih dari itu perekonomian akan berjalan adil, fair dan jauh dari kezaliman, eksploitasi dan penjajahan. Sebab riba sebagai alat kezaliman, eksploitasi dan penjajahan dihilangkan.[]

Share artikel ini: