Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)
Allah Swt. mengutus Rasul saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Allah menyatakan, tidak ada tujuan lain dari diutusnya Rasul saw., kecuali sebagai rahmat. Rasul diutus dengan membawa risalah. Artinya, risalah Islam ini diturunkan tidak lain sebagai rahmat. Jadi keberadaan risalah yang diterapkan di tengah-tengah manusia, itulah rahmat.
Allah SWT juga berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82).
Kedua ayat ini menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya. Rahmat maknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat. Itulah maslahat. Jadi, rahmat, yakni maslahat, itulah maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah.
Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia. Maslahat bagi individu sekalipun adalah maslahat baginya sebagai manusia, bukan sebagai individu. Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal terbatas, tidak mengetahui fakta dan hakikat manusia sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat bagi manusia. Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai: manfaat dianggap mafsadat dan madarat dianggap maslahat. Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal justru mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu sebagai maslahat, padahal justru madarat. Jika sudah demikian, bencana pun menjadi keniscayaan.
Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah Swt. berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagilian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).
Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada syariah, bukan pada akal. Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm halaman 13 menyatakan, “Kebanyakan maslahat dan mafsadat dunia diketahui dengan akal.”
Beliau berkata pada halaman 14, “Maslahat dan mafsadat dunia sama sekali tidak sebanding dengan maslahat dan mafsadat akhirat.”
Beliau juga berkata di halaman 13, “Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan syariah.”
Walhasil, maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariah; mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata—ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
نَهَانَا رَسُولُ اللهِ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).[]