Mediaumat.id – Seorang anak muda yang mengatakan boleh menolak khilafah dengan alasan Nabi SAW sendiri tidak pernah mewajibkan, dinilai Peneliti Kajian Tsaqafah Islamiah, Tafsir dan Balaghah Ustaz Irfan Abu Naveed, M.Pd.I. sebagai asumsi prematur. “Itu asumsi prematur, sama prematurnya dengan kegagalan anak muda ini dalam memahami maqalah ulama soal definisi khilafah,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (29/12/2022).
Menurutnya, orang yang ia sebut telah membanggakan hermeneutika lantas mendadak menjadi penganut tekstualis fatalistis itu belum cukup memahami bahasa Arab.
Maksud Irfan, Nabi SAW memang tidak menyebut negara yang pertama dibangun, al-daulah al-Islamiyyah al-‘ula_ (negara Islam pertama) sebagai khilafah. Pasalnya, lafaz khilafah secara bahasa bermakna pengganti.
“Kata khalafa bisa dirujuk dalam kamus Arabiyyah, sebagaimana ia pun disifati oleh al-Qadhi al-Mawardi al-Syafi’i sebagai pengganti kenabian dalam mengatur urusan umat,” jelasnya.
“Al-Imamah (meliputi) pembahasan terkait khilafat al-nubuwwah atau pengganti kenabian dalam memelihara urusan din (agama Islam) ini dan mengatur urusan dunia (dengannya),” demikian penjelasan al-Qadhi.
Maka itu, lanjut Irfan, dengan kata kunci ‘pengganti kenabian’, berarti posisi negara yang dibangun Rasulullah SAW memang bukan negara khilafah. “Logika sederhananya begini, negara (yang dibangun Rasulullah SAW) tersebut menggantikan yang mana?” tanyanya.
Maka itu pula, mengawali penjelasan, Irfan menyampaikan, apabila kajiannya sedikit lebih dalam, tidak prematur dan bahkan sepotong-sepotong, niscaya akan sampai pada hadits Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah ra yang artinya,
‘Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para Nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku dan akan ada para khalîfah yang banyak’ (HR Bukhari dan Muslim).
Logika bahasanya, khulafa adalah jamak dari khalifah. Sedangkan para khalifah dalam hadits itu adalah pengganti kenabian dari sisi sebagai pemimpin politik umat. “Jelas terjawab dalam kalimat la nabiya ba’da artinya pengganti Nabi SAW sebagai pemimpin umat,” tegasnya.
Artinya pula, memimpin umat tentu membutuhkan suatu sistem kepemimpinan. “Kalau setingkat RT namanya sistem ke-RT-an, kalau setingkat negara namanya sistem pemerintahan negara,” tambahnya.
Sehingga sistem pemerintahan warisan Nabi SAW dinamakan khilafah. “Siapa yang bilang begitu? Bukan saya, melainkan Nabi Muhammad SAW,” tandasnya, sambil menukil hadits yang maknanya, ‘Kemudian akan tegak Khilafah di atas manhaj kenabian’ (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Khilafah ‘Ala Minhaj al-Nubuwwah
Kemudian, tentang khilafatan ‘ala minhaj al-nubuwwah, Irfan menerangkan bahwa kalimat itu memiliki makna pemerintahan yang mengatur urusan umat yang berdiri tegak di atas manhaj atau jalan yang ditempuh Nabi Muhammad SAW.
Pun dari kalimat tersebut, jelasnya, secara tak langsung menunjukkan sifat dari khilafah itu sendiri. “Kalimat ala minhaj al-nubuwwah dalam hadits di atas itu merupakan syibh al-jumlah yang jelasnya menjadi sifat dari khilafah,” urainya.
“Kata siapa? Siapa yang menyifati? Ya jelas Rasulullah SAW,” tegasnya lagi, sembari mengulang bahwa yang namanya khilafah atau sistem pemerintahan warisan Rasulullah SAW memang benar adanya.
Makin menguatkan kebenaran tersebut, ia lantas memaparkan sebuah hadits tentang khilafah nubuwwah yang 30 tahun. “Khilafah nubuwwah itu tiga puluh tahun,” ucapnya mengutip hadits riwayat Abu Dawud dan Ath-Thabrani.
Bahkan, mengenai anggapan tentang hadits tersebut hanya khabar atau segala berita yang datangnya dari selain Nabi Muhammad SAW, bisa dari orang-orang terdekat beliau yang dikenal shalih dan dapat dipercaya, yaitu shahabat dan tabi’in, Irfan lagi-lagi memandang asumsi itu sebagai potret orang yang mengaji balaghah dan ushul dengan sepotong-sepotong.
“(Hadits) itu mengandung pujian (madh) pada kedudukan khilafah dalam Islam, makanya dibedakan dengan istilah mulkan dan digambarkan dalam hadits ‘ala minhaj al-nubuwwah dengan penyifatan al-nubuwwah dan dalam hadits ‘khilafat al-nubuwwah’ lafaz khilafah bahkan diatutkan secara tegas (bi al-idhafah) pada lafaz al-nubuwwah,” terangnya.
Makanya, kata Irfan lebih lanjut, umat sepatutnya heran kalau masih ada oknum yang mencitraburukkan khilafah sedemikian rupa. Padahal Nabi SAW menempatkan istilah khilafah pada tempat yang mulia. “Apa tak takut azab neraka?” cetusnya.
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk). Gigitlah oleh kalian (hal tersebut) dengan geraham yang kuat,” sahutnya, mengutip hadits tentang era khilafah pertama riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi.
Terakhir, sekadar diketahui, lafaz ‘alaykum yang artinya ‘hendaklah’ di awal kalimat itu, kata Irfan, di dalam bahasa Arab terutama ilmu sharf, termasuk ism fi’l al-amr yang berarti kata benda, berkonotasi kata kerja perintah.
Pun demikian di dalam ilmu ushul fiqh, lafaz tersebut jelas termasuk shiyagh al-amr, yang mengandung tuntutan (thalab) dari Nabi SAW. “Jelas ya, ada khilafah warisan Rasulullah SAW,” pungkasnya.[] Zainul Krian