Peneliti AEPI: Sri Mulyani Gagal Perbaiki Keuangan Negara

Mediaumat.id – Pendapatan negara yang terus merosot dinilai sebagai kegagalan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam memperbaiki keuangan negara.

“Selama satu dekade terakhir Menteri Keuangan Indonesia gagal memperbaiki keuangan negara. Dengan nama besar yang disandangnya, Sri Mulyani gagal memperbaiki pendapatan negara Indonesia. Pendapatan negara terus merosot setiap tahun, tanpa ada satu langkah pun yang dibuat untuk memperbaikinya,” ungkap Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng kepada Mediaumat.id, Senin (25/4/2022).

Menurut Salamuddin, tahun 2012 lalu pendapatan negara dari perpajakan mencapai 11,4 % dari gross domestic product (GDP) Indonesia. Tahun 2019 sebelum covid datang pendapatan perpajakan negara hanya tersisa 9,8% GDP. Penurunan ini berlangsung secara konsisten dan terus menerus. Bahkan sekarang pun pemerintah tidak tahu bagaimana memulihkan penerimaan perpajakan negara.

Ia mengungkap, penerimaan perpajakan menurun terutama di masa pemerintahan Jokowi. “Ini rahasia besar tentunya. Karena pembayar pajak terbesar Indonesia datang dari korporasi atau perusahaan. Maka tampaklah bahwa kelompok ini sangat dimanja dimasa pemerintahan ini. Karena data menunjukkan jumlah yang mereka bayarkan kepada negara makin mengecil, padahal output yang mereka hasilkan makin meningkat yang ditunjukkan secara garis besar oleh GDP Indonesia meningkat,” jelasnya.

“Lalu bagaimana dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)? Terparah terjadi penurunan sangat tajam dalam penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam. Tahun 2012 PNBP sumber daya alam mencapai Rp225,6 triliun, namun tahun 2020 PNBP sumber daya alam (SDA) tercatat hanya sebesar 97, 2 triliun. Ini terjadi di tengah aktivitas eksplotasi SDA sangat masif yang membuat publik bertanya alangkah mustahil PNBP sumber daya alam Indonesia ini merosot,” ungkapnya.

Ia menilai, merosotnya penerimaan negara dari SDA juga menjadi rahasia besar Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Jokowi. Tampaknya menteri keuangan begitu memanjakan para pelaku eksplotasi SDA. Hasilnya jumlah yang dibagi kepada negara dalam bentuk bagi hasil dan royalti menjadi sangat kecil.

“Apakah ini ada imbalannya kapada para pejabat negara yang mengurusi perpajakan? Sementara laju eksploitasi SDA kian masif, sampai sampai diobral dengan omnibus law, tapi tidak mengangkat pendapatan negara. Ini aneh!” ujarnya.

Ia mengaitkan dengan pameo yang mengatakan setiap kebijakan ada harganya. Kebijakan yang sengaja membangkrutkan negara lalu saat yang sama memperkaya oligarki swasta adalah hal yang sangat mungkin dilakukan pengurus negara. “Apa semua kebijakan semacam ini ada imbalannya? Dua periode atau tiga periode atau seumur hidup? Silakan disimak terus ya,” sindirnya.

Salamuddin berharap, pengalaman selama masa pemerintahan Jokowi tidak boleh terulang lagi, terutama berkaitan kebijakan oligarki politik dalam memperkaya diri dengan sumber daya alam Indonesia dengan mengurangi bagian negara dan hak bangsa Indonesia.

“Pemerintahan ini memperlakukan kekayaan alam sebagai komoditas dagangan oligarki semata, tidak menempatkan SDA sebagai kepentingan nasional untuk membangun kemandirian dan kedaulatan negara,” sesalnya.

Menurutnya, pemerintahan ke depan mutlak harus memahami bahwa sistem ekonomi politik Indonesia secara historis bertumpu pada kekuatan sumber daya alam. Demikian juga kemunduran dan kemajuannya sangat ditentukan oleh kemampuan membangun sistem pengelolaan sumber daya alam. “Pikiran semacam ini menjadi landasan dalam membangun kebijakan ekonomi politik negara,” sarannya.

“Indonesia tidak perlu mengkhayal aneh-aneh dari mana memulai, tak perlu teori-teori yang canggih, tapi cukup melihat pundi-pundi besar yang diberikan oleh sumber daya alam Indonesia. Kekayaan alam Indonesia itu ada di depan mata, sementara yang lain lain masih khayalan. Bangun kembali semuanya dari kenyataan bahwa kita memiliki kekayaan SDA,” tuturnya.

Maka sistem politik Indonesia, katanya, harus melihat peta jalan kekuatan Indonesia, dimulai dengan menata politik sumber daya alam. Dasar-dasarnya telah diletakkan oleh UUD 1945 dengan artikulasi yang baik terhadap geopolitik nasional dan internasional.

Demikian juga ekonominya, harus meletakkan sumber daya alam sebagai jangkar dalam menata industri, moneter dan keuangan. “Ini mamang bagian tersulit. Tapi kalau tidak mengerti pasti akan duduk manis menerima pajak dan royalti apa adanya saja. Maka tidak mungkin Indonesia mendapatkan apa apa dengan cara yang ada sekarang,” tegasnya.

Salamuddin menilai hukum dan penegakan hukum serta lembaga-lembaga penegak hukum, yang saat ini umumnya tidak memiliki kemampuan dalam memahami masalah ekonomi politik atau geopolitik, sehingga apriori dengan urusan sumber daya alam.

“Maka ke depan lembaga hukum diukur prestasinya atas kontribusinya dalam penataan sistem dan perbaikan kehidupan ekonomi negara dan bangsa dalam urusan mengolah kekayaan alam. Para pencoleng kekayaan alam harus dihukum berat sebagai penjahat keuangan atau sebagai pengkhianat bangsa,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

 

Share artikel ini: