Mediaumat.news – Advokat Ahmad Khozinudin menilai penegakan hukum 2020 buruk dan diprediksi 2021 tak jauh beda.
“(Selama 2020 penegakan hukum buruk) hukum tak lagi menjadi panglima, melainkan politiklah yang berkuasa atas hukum. Keadaan di tahun 2021 (outlook) tak akan jauh berbeda dengan tahun 2020. Apabila hukum di 2020 baik, baik pula di tahun 2021, bila sebaliknya maka kondisinya juga akan buruk,” ungkapnya ketiga menyampaikan kaleidoskop penegakan hukum 2020 kepada Mediaumat.news, Sabtu (19/12/2020).
Ahmad pun menyampaikan sejumlah rapor merah rezim dalam perspektif hukum selama tahun 2020. Pertama, perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi tren di tahun 2020 adalah konfirmasi adanya pengaruh kuat politik terhadap hukum, sehingga hukum benar-benar berada di bawah kendali kekuasaan politik.
“Terbitnya sejumlah Perppu dan UU yang bertentangan dengan hukum dan aspirasi publik, bahkan cenderung sengaja mengabaikan publik baik dalam proses hingga pemberlakuannya, menjadikan Indonesia seolah bukan lagi negara hukum (rechtstsaat) melainkan telah berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Ambil contoh, ketika Presiden tetap keukeuh menerbitkan Perppu Covid-19, atau DPR tetap ngotot mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja,” bebernya.
Padahal menurut Ahmad, dua produk hukum ini ditentang publik, dan telah banyak yang berdemo menentangnya. Namun penguasa, tetap menggunakan logika kekuasaan. Logika itu adalah bahwa penguasa punya wewenang untuk mengeluarkan UU, tak peduli bahwa UU itu bertentangan dengan hukum dan ditolak publik.
Sehingga, Ahmad memprediksi pada tahun 2021 trennya tidak akan jauh beda. “Misalnya, RUU HIP yang telah ditolak publik ternyata secara diam-diam oleh DPR dimasukkan kembali pada Prolegnas tahun 2021. Hal ini mengonfirmasi penguasa masih menggunakan logika kekuasaan dalam menyelenggarakan proses pemerintahan,” ungkapnya.
Kedua, proses penegakan hukum yang dilakukan institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, juga menjadi pelayanan penguasa. Ahmad menyebut ada semacam tren bahwa aparat bukan lagi menjadi alat negara tetapi telah menjadi alat penguasa.
Menurut Ahmad, hal itu tampak pada masifnya kriminalisasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, terutamanya yang menggunakan sarana UU ITE. Kriminalisasi dipaksakan dilakukan pada sejumlah peristiwa yang sebenarnya bukan pidana tetapi dipaksakan menjadi pidana oleh aparat berwenang.
Ahmad menyebut, peristiwa ini umumnya aktivitas menyampaikan pendapat yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara dan aktivitas dakwah yang merupakan ibadat menurut keyakinan agama Islam. “Kedua aktivitas ini dikriminalisasi menjadi tindakan pencemaran, penyebaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, adakalanya dianggap hoaks,” bebernya.
Ahmad juga menyebutkan sejumlah pasal yang kerap kali digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis yakni Pasal 45A ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3), pasal 45A ayat (3) Jo pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, termasuk pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana.
Selain itu, Ahmad juga terdapat banyak diskriminasi dari aparat.
Menurutnya, diskriminasi tampak pada pembedaan perlakuan terhadap sejumlah orang yang pro rezim, yang telah nyata melakukan pidana baik penghinaan agama, ulama dan ajaran Islam yang dibiarkan bebas. Tak ada sikap tegas terhadap mereka. Nama-nama seperti Abu Janda, Deni Siregar, Ade Armando, dll, adalah bukti konkretnya. Sementara itu, ulama dan tokoh yang kritis terhadap rezim seperti Gus Nur, Ali Baharsyah, Anton Permana, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, ditangkapi.
“Karena itu, pembungkaman sikap kritis terhadap rakyat terutama yang diwakili oleh ulama dan aktivis dengan kriminalisasi dan diskriminatif ini akan tetap menjadi tren penegakan hukum di tahun 2021” bebernya.
Ahmad mengingatkan, publik juga harus siap kecewa karena agak sulit berharap kontrol dari pengadilan. Mengingat, pada umumnya hakim ‘terpaksa’ memvonis bersalah semua perkara kriminalisasi dan diskriminasi yang dibawa jaksa dari hasil penyidikan polisi. Hakim, tentu memiliki beban psikologis jika membebaskan terdakwa, karena akan menimbulkan kesan jaksa dan polisi tak becus menangani perkara.
Ketiga, elemen civil society masih belum sepenuhnya melawan. Namun menurut Ahmad masih ada kecenderungan akan perubahan. Ada sejumlah peningkatan perlawanan hukum publik terhadap sejumlah persoalan hukum di negeri ini.
“Pada akhirnya, kondisi hukum di tahun 2021 tidak saja ditentukan oleh kezaliman penguasa tetapi juga keberanian rakyat untuk terlibat aktif mengontrol dan meluruskannya. Tinggal kita lihat, apakah kekuatan rezim masih di atas kekuatan kontrol civil society. Nampaknya, peristiwa penembakan 6 anggota FPI oleh anggota Polda Metro Jaya akan mengubah bandul kesetimbangan politik. Lagi lagi, selain kondisi tahun ini akan menjadi cermin hukum di tahun 2021, sikap dan visi besar rakyat untuk hukum di tahun 2021 juga sangat menentukan corak hukum yang akan hadir di tahun 2021,” ungkapnya.
Kabar gembiranya, menurut Ahmad rapor merah tahun 2020 ini masih bisa berubah. “Madesu (masa depan suram) hukum di tahun 2021 masih bisa berubah menjadi madecer (masa depan cerah) jika rakyat, semua komponen civil society (masyarakat sipil) mau bersatu dan berjuang untuk mengubah keadaan. Mengingat, Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu sendiri tak mau mengubahnya,” pungkasnya.[] Billah Izzul Haq