Januari 2023 menandai setahun sejak larangan bagi wanita Muslim untuk menghadiri perkuliahan Universitas di wilayah Udupi, India. Penderitaan pendidikan bagi wanita Muslim di dunia modern, pasca-Khilafah telah berulang sepanjang sejarah. Berikut adalah beberapa poin penting:
Pada Januari 2023, rezim Taliban di Afghanistan melarang kaum perempuan mengenakan burka dan melarang mereka mengenyam pendidikan.
Pada 2019, pemerintah Denmark mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian cadar di tempat-tempat umum, termasuk burka dan niqab.
Pada 2011, pemerintah Prancis melarang pemakaian penutup wajah, termasuk burka dan niqab, di tempat-tempat umum. Undang-undang ini diperkuat oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada tahun 2014.
Pada 2010, Belgia mengesahkan undang-undang serupa, yang juga melarang pemakaian penutup wajah di tempat umum.
Struktur sosial yang tidak stabil telah menyebabkan gangguan pendidikan bagi wanita dan anak perempuan Muslim, contoh-contoh penting diantaranya;
Nigeria: Boko Haram, kelompok ekstremis yang aktif di Nigeria, telah menargetkan sekolah-sekolah dan siswa, terutama anak-anak perempuan, dengan melakukan pemboman dan penculikan. Akibatnya, banyak anak perempuan di wilayah tersebut yang tidak mendapatkan akses pendidikan.
Suriah dan Irak: Perang dan ketidakstabilan yang sedang berlangsung telah menyebabkan kehancuran banyak sekolah dan pengungsian jutaan orang, sehingga menyulitkan anak-anak, termasuk anak perempuan, untuk mengenyam pendidikan.
Yaman: Konflik saat ini di Yaman dan kelaparan massal juga telah menyebabkan pengungsian bagi banyak orang dan penghancuran infrastruktur, termasuk sekolah-sekolah, sehingga menyulitkan anak-anak, termasuk anak perempuan, untuk mengenyam pendidikan.
‘Israel’ memiliki kebijakan diskriminatif yang memisahkan siswa perempuan Muslim dari siswa Yahudi dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan Palestina secara signifikan lebih miskin dan lebih terganggu akibat perang dan pihak berwenang yang membunuh, menahan, dan menculik warga Muslim sesuka hati mereka.
Jilbab dilarang di Iran pada tahun 1936 di bawah pemerintahan Reza Shah Pahlavi, pendiri dinasti Pahlavi. Reza Shah, yang merupakan pemimpin sekuler, berusaha memodernisasi Iran dan menjauhkan negara itu dari tradisi agamanya. Sebagai bagian dari upaya ini, ia menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk menekan adat istiadat dan praktik Islam, termasuk mengenakan jilbab. Wanita juga diharuskan mengadopsi pakaian bergaya Barat dan tidak disarankan mengenakan pakaian tradisional.
Larangan ini berlaku sampai terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979, yang mengarah pada pembentukan Republik Islam Iran dan kembalinya kebiasaan dan praktik Islam tradisional. Setelah revolusi, pemakaian jilbab menjadi wajib di Iran, dan wanita yang tidak mematuhi aturan berpakaian dapat didenda, dipenjara, atau mendapat hukuman lainnya.
Gelombang siklus kontradiksi politik berlanjut hingga hari ini dengan wanita di Iran memprotes kewajiban mengenakan jilbab.
Pada Desember 2021, Government Pre-University College, di Udupi, melarang siswa Muslim mengenakan jilbab di dalam kelas. Enam mahasiswa memprotes langkah ini. Pemerintah menolak untuk mengubah aturan barunya, yang menyebabkan protes lebih lanjut dari mahasiswa Muslim. Selanjutnya, pada bulan Januari, ratusan mahasiswa Hindu tiba di kampus mereka dengan memakai syal berwarna kuning kunyit di leher mereka, menuntut agar mahasiswa berhijab dilarang masuk ke kampus. Mereka berpendapat bahwa jilbab melanggar aturan institusi mereka tentang seragam. Banyak ekstremis sayap kanan melecehkan dan menindas wanita Muslim karena naik kelas dengan pakaian Islami. Guru dan dosen tidak terkecuali dengan teror terhadapt saudari muslim itu.
Beberapa video muncul di media sosial tentang siswa perempuan Muslim yang dihentikan untuk masuk di gerbang perguruan tinggi, dipaksa untuk melepas burka dan jilbab mereka di luar, dipermalukan oleh guru dan kelompok siswa kelompok sayap kanan. Dalam beberapa kasus, wanita Muslim dipulangkan jika mereka menolak melepas jilbab.
Pada 5 Februari 2022, pemerintah Karnataka mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa perguruan tinggi harus mematuhi aturan seragam secara ketat dan tidak ada pengecualian yang akan dibuat untuk jilbab.
Beberapa organisasi Muslim dan mahasiswa mengajukan petisi menentang perintah ini. Pada 10 Februari 2022, Pengadilan Tinggi Karnataka mengeluarkan perintah sementara yang menahan siswa untuk mengenakan “selendang berwarna kuning kunyit, syal, jilbab, bendera keagamaan atau sejenisnya di dalam kelas”.
Maret 2022, ketika Pengadilan Tinggi Karnataka menyampaikan putusan dalam masalah ini, dengan menjunjung tinggi hak-hak perguruan tinggi untuk melarang siswa mengenakan jilbab – banyak perguruan tinggi di seluruh negara bagian itu mulai memberlakukan larangan jilbab, dalam apa yang secara luas mulai disebut sebagai “larangan berjilbab.” Pengadilan menyatakan, “Para pemohon telah gagal memenuhi persyaratan ambang batas pembelaan dan bukti bahwa mengenakan jilbab adalah praktik keagamaan yang tidak dapat diganggu gugat dalam Islam dan apalagi bagian dari ‘praktik keagamaan yang penting’.”
Pengadilan juga mengklaim bahwa aturan berpakaian akan menjadi “langkah ke arah emansipasi”. Putusan itu berbunyi, “Hampir tidak perlu dinyatakan bahwa hal ini tidak merampas otonomi kaum perempuan atau hak mereka atas pendidikan mengingat fakta bawa mereka bisa mengenakan pakaian yang bisa mereka pilih di luar kelas.” Para pemohon mengajukan banding ke Mahkamah Agung pada Oktober 2022, pengadilan dua hakim memberikan putusan terpisah, setelah itu masalah tersebut dirujuk ke Ketua Mahkamah Agung India. Secara efektif, dari saat putusan pengadilan tinggi hingga saat ini, ketika para pemohon menunggu konstitusi pengadilan yang baru untuk mendengar masalah ini, larangan jilbab tetap berlaku.
Apa yang kita lihat di sini adalah politisasi global terhadap Hukum Syariah yang menindas wanita Muslim, dan bahkan di negara-negara yang disebut demokratis yang berusaha untuk “menyelamatkan” dan “melindungi” wanita dari hukum syariah, mereka menyangkal kehendak bebas wanita yang memilih untuk berjilbab.
Jilbab atau penutup kepala bukanlah pelanggaran nyata di sini. Mari kita perjelas; Pelanggaran besar adalah bahwa kaum perempuan muslim menerima untuk menjalani kehidupan saat mereka memilih untuk berpaling dari “kebebasan’ budaya liberal. Tantangan terbuka inilah yang mengungkap ketidakmampuan nilai-nilai sekuler. Sistem yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan kaum perempuan. Hal ini menciptakan ketidakamanan dalam struktur elit dunia. Ancaman sebenarnya adalah perbedaan pendapat sosial-politik dan pengakuan bahwa mungkin ada alternatif untuk hegemoni kapitalistik.
Jurnalis Johanna Deeksha dikutip dalam sebuah artikel tertanggal 11 Januari 2023, dengan mengatakan; “Sementara Muslim di seluruh India telah lama memiliki akses yang rendah untuk mendapatkan pendidikan, mereka yang berada di Karnataka telah berjuang sangat keras untuk itu. Sebuah survei pemerintah yang dirilis pada tahun 2013 menemukan bahwa dari semua negara bagian, Karnataka memiliki tingkat putus sekolah Muslim tertinggi antara kelas 1 hingga 8, yaitu 6,3%. Survei tersebut juga menemukan bahwa di antara semua siswa Muslim di India pada tahap sekolah dasar atas yang putus sekolah tahun itu, 73,9% berasal dari Karnataka.”
Apa yang dapat dipelajari dari berbagai gaya yang mengkriminalisasi dan mengebiri aturan berpakaian wanita Muslim ini adalah bahwa dalam semua kasus, tema umumnya adalah “Islam adalah musuh”.
Jika kaum liberal mencaci-maki komitmen Muslimah kepada Allah (Swt), mereka meminggirkan dan menghukum wanita Muslim persis sebagaimana Taliban atau Boko Haram. Satu-satunya sistem yang benar-benar akan memberikan keadilan kepada perempuan adalah Hukum Islam, sebuah fakta yang ingin dibatasi oleh para pemimpin Barat dengan menggunakan taktik pencemaran nama baik dan kesadaran pengalihan tentang ancaman nyata terhadap kemanusiaan.
[إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ * خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ وَعَلَىٰٓ أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌۭ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌۭ * وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ * يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ * فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌۭ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًۭا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌۢ بِمَا كَانُوا۟ يَكْذِبُونَ]
“Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka, apakah engkau (Nabi Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat. Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang mukmin. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya dan mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta. [TQS Al-Baqarah: 6-10]
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh
Imrana Mohammad
Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahir