Pendidikan, Penjajahan dan Buku-buku yang Berserakan

Oleh: Indarto Imam (Ketua FORPEACE)

Keamanan adalah nikmat dari berbagai nikmat Allah azza wa jalla atas hamba-Nya. Maka dia adalah tuntutan setiap masyarakat dan tujuan dari tiap negara, yang untuknya berdirilah pasukan perang dan dikumpulkanlah uang untuk menghadapi revolusi dan konflik. Al-Quran telah mengisyaratkan hal ini pada kisah doa Nabi Ibrahim AS agar Allah memberkati Makkah dengan keamanan dan ketenangan ketika beliau meninggalkan istri dan buah hatinya di sana. Allah Swt. berfirman: “dan ketika Ibrahim berkata, wahai Tuhanku jadikanlah ini negeri yang aman dan berikanlah kepada penduduknya rizki buah-buahan…”. Beliau mendahulukan nikmat kemanan dari nikmat makanan, karena bagimana bisa seorang merasakan nikmat makanan jika tidak ada keamanan? Kalau ada nilai makanan tanpa keamanan, ada banyak bantuan kemanusiaan yang dikirimkan pemerintah yang begitu berlimpah, pastilah telah merubah nasib 2 juta anak Yaman yang menderita malnutrisi, sementara kelaparan menyebar di ufuk Sudan Selatan. FAO telah menyalakan alarm berbahaya terhadap buruknya malnutrisi yang menyerang lebih dari 16 juta anak di bawah 5 tahun di Negara-negara Afrika Barat, tapi dengan tidak adanya keamanan, maka hilang pulalah segala tatanan kehidupan yang layak.

Lalu apakah nilai sebuah pendidikan jika tidak ada keamanan dan buku-buku berlumur darah? Inilah yang terjadi di sebagian besar wilayah Islam, di Suriah, Iraq, Yaman, Lebanon, dan negeri-negri Islam yang lain sepanjang pergolakan dan konflik yang terus berlanjut. Sekjen UNICEF berkata bahwa sebanyak 535 juta anak atau setara dengan 1 tiap 4 anak di dunia hidup di wilayah berbahaya penuh dengan konflik dan peperangan. Mereka tidak mampu, dalam banyak keadaan, untuk mendapatkan kebutuhan dasar perawatan kesehatan,pendidikan dan makanan atau perawatan yang menjadikan mereka rentan terhadap berbagai penyakit dan kekerasan. Lebih lagi, sekitar 390 juta anak yang terdampak tersebut hidup di Gurun Pasir Besar di Afrika Selatan, sementara sekitar 65 juta anak yang terdampak krisis ini berada di Timur Tengah.

Berdasar data statistik yang mencengangkan ini, dan setelah mempelajari keadaan dan situasi negeri-negeri ini, kita melihat bahwa anak-anak ini sebagian besar hidup di wilayah-wilayah yang penuh gejolak dan konflik yang terjadi di bawah penguasaan dan pengaruh negara-negara besar penjajah. Negara-negara inilah yang dengan dalih demi keamanan individu dan masyarakat, menyalakan peperangan dan menyulut masalah dan kekacauan, untuk merealisasikan kemaslahatan materiil yang tak mungkin terealisir tanpa menumpahkan darah orang-orang tak berdosa, prosekusi dan pengungsian. Karena maslahat-maslahat tersebut berdiri di atas ideologi yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan tujuan penjajahan.

Semenjak beberapa tahun lalu, negara-negara besar telah mengumumkan pembukaan front militer mereka di banyak negeri muslim khususnya setelah Revolusi Arab. Yang demikian adalah untuk mengembalikan cengkeraman Barat terhadap umat Islam dan keinginan umat untuk bangkit. Dalam bayang-bayang perang yang masih berkecamuk menghancurkan manusia, batu dan pohon-pohon, di Suriah, Irak ,Yaman, dan Libya. Menurut pernyataan terakhir UNICEF, sebanyak 2,4 juta anak Suriah, 3 juta anak di Irak, 2 juta anak di Libya, ditambah 2,9 juta di Yaman tidak bisa bersekolah.

UNICEF juga menyatakan, sebanyak 13 juta anak-anak di wilayah Timur Tengah atau sekitar 40% dari total anak di Timteng, tidak bisa bersekolah karena pergolakan yang terus menerus di negeri mereka. Ini belum mencakup tempat-tempat pengungsian di negara-negara tetangga, dimana mereka mengungsi ke sana karena sudah tidak adanya keamanan dan kehidupan yang layak di negeri mereka sendiri.

Sementara di tempat baru, karena tidak adanya infrastruktur yang memadai dalam berbagai sektor, mereka tidak mendapati perekonomian yang baik, kehidupan sosial dan pendidikan yang memadai, sehingga terjadi peningkatan angka buta huruf yang diiringi dengan tersebarnya kebodohan, kemiskinan, kebatilan, kekerasan dan eksploitasi. Menurut pernyataan Human Right Watch, ada 212 ribu anak Suriah yang semula berjumlah 708 ribu pada usia belajar, terdaftar di sekolah-sekolah di Turki pada tahun ajaran 2014-2015, sementara banyak dari anak-anak ini menjadi pengemis atau bekerja secara ilegal dengan gaji yang sangat rendah. Sementara sebagian besar anak-anak usia sekolah dari Suriah telah mengungsi ke negara-negara tetangga akibat ketidakmampuan menanggung beban dan tuntutan yang terus bertambah. Lebih dari 700 ribu anak telah mengungsi.

Sesungguhnya tidak adanya rasa aman dan meningkatnya skala pembunuhan dan serangan secara sengaja dan terus menerus terhadap sekolah telah menjadikan pendidikan sebuah dilema yang sulit untuk direalisasikan apalagi dijamin. UNICEF menyatakan, ada 8850 sekolah di Suriah dan Irak, Yaman dan Libya yang telah hancur atau rusak parah sehingga tidak mungkin untuk digunakan kembali, entah karena telah beralih fungsi menjadi tempat pengungsian keluarga-keluarga yang kehilangan rumah mereka atau telah dikuasai oleh kekuatan pengacau. Statistik Kementerian Pendidikan Irak mengungkap kebutuhan terhadap 10 ribu sekolah untuk mengakomodir bertambahnya tuntutan jumlah pelajar. Demikian pula statistik Kementerian Pendidikan Lebanon, menyatakan bahwa sekolah-sekolah di Lebanon tidak sanggup mengakomodir tuntutan lebih dari 200 ribu anak pengungsi.

Adapun di Libya, sekolah-sekolah menangani jumlah anak yang berlimpah sampai kelas-kelas menjadi penuh sesak dengan 50-an anak bahkan lebih akibat tidak adanya perbaikan terhadap sekolah-sekolah yang rusak selama perang di berbagai wilayah Libya. Juga terjadi gerakan perpindahan di dalam negeri sebagaimana diumumkan oleh UNHCR bahwa dalam negeri Libya ada sebanyak 218 ribu pengungsi.

Para pelajar berbagai tingkatan usia telah kehilangan kesempatan mereka untuk belajar karena konflik bersenjata dan peperangan, yang masih dalam bayang-bayangnya, kita melihat bahwa sektor pendidikan sebagaimana sektor-sektor yang lain menghadapi berbagai kesulitan dan krisis yang besar. Sementara perang telah memberi pengaruh negatif terhadap pendidikan dan bagaimana menjaminnya untuk semua, anak-anak yang putus sekolah ini banyak yang akhirnya tertarik ke dalam organisasi-organisasi bersenjata dan seringnya, apa yang tampak adalah adanya dorongan untuk merekrut anak-anak ke dalam barisan mereka karena tuntutan keadaan dan ekonomi. Washington Post melaporkan pada Mei 2015 bahwa anak-anak membentuk sepertiga dari kekuatan pasukan Houtis yang totalnya 26 ribu personel. Camp-camp militer banyak melatih anak-anak untuk berperang di Suriah dan Irak, yaitu sebanyak 14 camps. Ini belum termasuk para pengajar/guru yang harus mengungsi atau ditahan. Di Yaman dilaporkan lebih dari 40 guru terbunuh di Kota Taiz dan lusinan yang lain terluka, selain ribuan yang harus mengungsi. Dan di Suriah, tidak kurang dari 25.500 guru dan 523 pembimbing meninggalkan pekerjaan mereka di wilayah-wilayah konflik, untuk mengungsi ke negara-negara tetangga atau berpindah ke tempat lain di dalam negeri yang masih sanggup memberi gaji sekitar 200-400 USD per bulan.

Karena lamanya pergolakan yang tampak tiada akhir, pengrusakan terhadap institusi pendidikan yang terus berlanjut di dunia Islam, hal ini mengancam secara langsung masa depan generasi yang akan datang. Tanpa pendidikan, muncullah generasi yang tanpa identitas, yang rela dipimpin oleh kekuasaan dan politik yang dominan, membebek segala gerakan resistensi (secara pemikiran, tsaqofah dan pendidikan), bagi siapa saja yang telah kehilangan kreativitas, intelektualitas, dan kehidupan mulia. Dan inilah hal yang selalu diinginkan oleh musuh-musuh islam . Hal ini terbukti dari sistematisnya mereka secara terus-menerus menyerang anak-anak dan sekolah-sekolah di Suriah. Mereka menghancurkan tempat-tempat dimana anak-anak bersemangat untuk belajar meskipun dalam situasi yang sangat sulit dan atmosfer ketakutan dan horor yang menyelimuti akibat perbuatan pesawat-pesawat tentara salib penjajah yang terus menerus berputar di wilayah-wilayah yang menuntut pergantian rezim dan tinggi syiar islamnya. Sepertinya keinginan yang kuat dari anak-anak ini telah mengguncang kemarahan para thaghut, seolah mereka berkata inilah kami generasi masa depan, kami tidak takut apapun ancamanmu. Wahai umat saksikanlah, akan hancur singgasana mereka sebentar lagi.

Maka siapakah yang bertanggung jawab saat ini untuk melindungi pendidikan, para pelajar, akademisi dan kaum intelektual dari bom-bom eksplosif, senjata kimia dan penembak-penembak jitu dan dari kelaparan? Juga siapa yang bisa melindungi mereka dari pesawat-pesawat koalisi Arab dan penjajah salibis? Dan dari banyak organisasi bersenjata dan kelompok milisi? Pertanyaan ini harus diajukan kepada Negara-negara yang mengaku super power pemimpin dunia, yang membuat hukum internasional yang hanya berada di dalam kertas yang tergeletak di hadapan perbuatan keji yang mereka lakukan dengan alasan perang melawan teroris, padahal kenyataannya hanya melawan Islam dan Muslim.[]

Share artikel ini: