Pendapat Otoritatif dan Mayoritas Tentang Wajibnya Hanya Satu Khalifah

Oleh: Yuana Ryan Tresna, M.Ag. | Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung | Kandidat Doktor UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

Pendahuluan

Dalam sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kepada Menkumham di Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) Kamis, 15/3/18 lalu, pihak pemerintah menghadirkan Ahmad Ngisomudin, M.Ag. alias Ahmad Ishomuddin sebagai ahli. Ada banyak pernyataAn ahli tersebut yang bermasalah. Namun di antara yang mendesak untuk ditanggapi adalah pernyataannya tentang kewajiban mengangkat hanya satu orang khalifah hanyalah pendapat Hizbut Tahrir.[1] Ungkapan tersebut juga menarik untuk ditanggapi karena dia dengan tanpa sadar telah menyerang pendapat madzhabnya sendiri. Padahal kalau mau cermat dan teliti, tentu saja pendapat Hizbut Tahrir sangat sejalan dengan pendapat madzhabnya, Madzhab Syafi’i. Padahal kalau kita perhatikan uraian Imam al-Mawardi menunjukkan dengan jelas bahwa pendapat yang dipegang Hizbut Tahrir adalah pendapat terkuat yang ada dalam Madzhab Syafi’i, bahkan ia menjadi pendapat jumhur ulama lintas madzhab.

 

Definisi Khalifah dan Khilafah

Mengawali bagian pertama dari tulisan ini, penulis hendak memberikan gambaran terkait definisi khalifah, khilafah dan istilah lain yang sinonim. Hal tersebut sebagai bantahan terhadap anggapan Ahmad Ngisomudin bahwa istilah ”imam” itu berbeda dengan ”khalifah”.

Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[2] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran.

Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad Saw dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”[3] demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”[4]

Adapun makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,

الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

Artinya: Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.[5]

Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih praktis,

الخليفة هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي تنفيذ أحكام الشرع

Artinya: Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.[6]

Para ulama’ mengklasifikasikan kata imam, khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraduf). Imam Imam al-Nawawi menyatakan,

يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين

Artinya: Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul mukminin.[7]

Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Khilafah dan Imamah adalah sinonim.

Imam al-Mawardi mendefinisikan sebagai,

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

Artinya: Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi.[8]

Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

Artinya: Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.[9]

Definisi yang jami’ dan mani’ (menyeluruh dan mengeluarkan yang tidak perlu) adalah,

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم

Artinya: Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.[10]

Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.

 

Landasan Normatif Kesatuan Khalifah dan Khilafah

Dalam sistem politik Islam, khalifah harus satu untuk seluruh kaum muslim.   Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat shahih.

Imam Muslim menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ

Artinya: Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menta’atinya jika ia mampu.  Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu. (HR. Muslim)

Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, dari Sa’id al-Khudri, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda,

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Artinya: Jika dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dari ‘Urfajah, dituturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang hendak merebut kekuasaan kalian, atau hendak memecah belah jama’ah kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang laki-laki (khalifah), maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan,

قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Artinya: Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun. Aku pernah mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. yang bersabda: “Dahulu, Bani Israil selalu dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama itu saja.”  Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka. (HR. Muslim)

 

Pendapat Imam al-Mawardi tentang Kesatuan Khalifah dan Khilafah

Beliau adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Dia adalah seorang ulama besar dari Madzhab Syafi’i. Banyak karya besar yang lahir darinya. Ada kitab aqidah, fiqh, tafsir, dan sastra. Di antara kitabnya yang monumental adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Sebuah kitab yang membahas seputar hukum-hukum pemerintahan. Sebagaimana kitab-kitabnya yang lain, kitab ini pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di hadapan para ulama.

Imam al-Mawardi di dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyah, beliau mengatakan,

وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد وإن شذ قوم فجوزوه

Artinya: Apabila akad Imamah ditetapkan untuk dua imam di dua negeri, maka keimamahan keduanya tidak sah. Karena, tidak boleh ada dua imam bagi ummat pada satu waktu, meskipun ada segolongan orang nyeleneh yang membolehkannya.[11]

Masih dalah kitab yang sama, beliau menyatakan bahwa imam dan khalifah adalah sinonim,

وَيُسَمَّى خَلِيفَةً لِأَنَّهُ خَلَفَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي أُمَّتِهِ، فَيَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى الْإِطْلَاقِ فَيُقَالُ: الْخَلِيفَةُ.

Artinya: (Imam) juga dinamai khalifah karena menggantikan Rasulullah Saw dalam umatnya. Boleh juga disebut khalifah Rasulillah. Namun secara umum disebut khalifah saja.[12]

Kemudian, makna pernyataan al-Mawardi itu bisa kita dapatkan lebih gamblang dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din. Beliau menyatakan,

فأما إقامة إمامين أو ثلاثة في عصر واحد، وبلد واحد فلا يجوز إجماعا. فأما في بلدان شتى وأمصار متباعدة فقد ذهبت طائفة شاذة إلى جواز ذلك

Artinya: Adapun mengangkat dua imam atau tiga, pada satu masa, dan pada satu negeri, maka tidak boleh menurut ijma’. Adapun (mengangkat dua imam atau lebih) di berbagai negeri yang berbeda dan saling berjauhan maka ada pendapat segolongan orang syadz (menyelisihi pendapat yang lebih kuat) yang membolehkan hal itu.[13]

Setelah mengutip beberapa pendapat tentang masalah tersebut, Imam al-Mawardi menegaskan,

وَالصَّحِيحُ فِي ذَلِكَ وَمَا عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ الْمُحَقِّقُونَ أَنَّ الْإِمَامَةَ لِأَسْبَقِهِمَا بَيْعَةً وَعَقْدًا، كَالْوَلِيَّيْنِ فِي نِكَاحِ الْمَرْأَةِ إذَا زَوَّجَاهَا بِاثْنَيْنِ كَانَ النِّكَاحُ لِأَسْبَقِهِمَا عَقْدًا. فَإِذَا تَعَيَّنَ السَّابِقُ مِنْهُمَا اسْتَقَرَّتْ لَهُ الْإِمَامَةُ، وَعَلَى الْمَسْبُوقِ تَسْلِيمُ الْأَمْرِ إلَيْهِ وَالدُّخُولُ فِي بَيْعَتِهِ

Artinya: Dan pendapat yang benar dan ini merupakan pendapat para fuqaha, bahwa kepemimpinan itu diberikan kepada orang yang lebih dahulu baiat dan akadnya. Hal itu seperti dua orang wali dalam pernikahan seorang wanita. Apabila dia dinikahkan dengan dua orang pria, maka pernikahan yang sah adalah yang lebih dahulu akadnya. Sehingga jika telah diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu diangkat menjadi imam, maka kepemimpinan itu tetap menjadi miliknya; dan orang yang didahului harus menyerahkan urusan kepemimpinan itu kepadanya dan berbaiat kepadanya.

Penyamaan akad imamah dengan akad nikah yang disampaikan al-Mawardi menunjukkan dengan jelas bahwa tidak boleh ada dua orang khalifah dalam satu waktu. Seandainya ada, maka sebagaimana pernikahan seorang wanita, yang sah adalah pernikahan pada akad yang pertama. Sedangkan akad yang kedua adalah tidak sah.

Pendapat Ulama Lainnya tentang Kesatuan Khalifah dan Khilafah

Banyak ulama yang berpendapat serupa. Para ulama menyatakan bahwa tidak boleh mengangkat lebih dari seorang khalifah atau imam. Imam Ibnu Katsir, ketika menerangkan QS. al-Baqarah [2] ayat 30, beliau menegaskan,

فأما نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام “من جاءكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائناً من كان” وهذا قول الجمهور، وقد حكى الإجماع على ذلك غير واحد منهم إمام الحرمين،.

Artinya: Adapun mengangkat dua orang imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi Saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecah belah kalian maka bunuhlah siapapun dia.” Ini merupakan pendapat jumhur dan tidak hanya satu orang yang meriwayatkan bahwa itu merupakan ijma’ (konsensus), di antaranya adalah Imam al-Haramain.”[14]

Syaikh Abdurrahman al-Jazairi juga menyatakan,

اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على : أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان

Artinya: Para imam (madzhab) rahimahullah sepakat bahwa al-imamah (kepemimpinan) itu fardhu; dan kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan membela orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tidak boleh ada dua orang imam atas kaum muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia, baik keduanya bersepakat atau bertentangan.[15]

Imam al-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan Hadits Nabi Saw riwayat Imam Muslim tentang memenuhi baiat yang pertama saja dengan memberikan penjelasan,

ومَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء

Artinya: Makna hadits ini adalah apabila seorang khalifah dibaiat setelah setelah ada khalifah, maka baiat yang pertamalah yang benar dan wajib dipenuhi. Sedangkan baiat yang kedua adalah batil dan haram dipenuhi. Haram pula baginya (orang yang dibaiat yang kedua itu) menuntut baiat, sama saja apakah orang yang membaiat orang kedua itu mengetahui atau tidak. Sama juga apakah kedua orang (yang dibaiat) itu berada dalam dua negeri atau satu negeri; salah satunya berada di negeri imam yang terpisah atau di tempat lainnya. Inilah pendapat yang benar menurut madzhab kami dan kebanyakan para ulama.[16]

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya,

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا

Artinya: Dan para ulama sepakat bahwa tidak boleh diangkat dua orang khalifah dalam masa yang sama, baik dar Islam luas maupun tidak. [17]

Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah dan tidak boleh lebih dari satu orang merupakan pendapat para ulama yang otoritatif (mu’tabar). Sehingga, ungkapan ahli pemerintah dengan mengatakan, “tidak ada satu pun”, jelas merupakan pengingkaran terhadap suatu fakta. Ketika faktanya justru menunjukkan sebaliknya, bisa dianggap berdusta. Masalahnya menjadi semakin berat ketika itu disampaikan di depan hakim dalam sebuah pengadilan di bawah sumpah.

Asing dengan Ajaran Sendiri

Sebagian kalangan asing dengan ajarannya sendiri, padahal ajaran Islam itu mencakup semua hal. Allah Swt berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Artinya: Dan kami telah menurunkan kepadamu al-Quran sebagai penjelas atas semua perkara, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi kaum muslim” (QS. Al-Nahl: 89)

Abdullah Ibn Mas’ud ra. menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.[18]

Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi Saw bersabda,

لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

Artinya: Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat. (HR. Ahmad).

Lafazh عُرْوَةً عُرْوَةً) ) menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.[19] Adapun maksud kalimatوَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ) ) adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.[20]

Belum lagi hal itu karena kelemahan internal umat Islam. Kelemahan tersebut disebabkan karena mereka terlampau cinta akan kehidupan dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Saw terkait penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati).

Bagaimana tidak, kitab kecil seperti Ghayah wa al-Taqrib (Matan Abi Syuja) saja isinya mulai bab thaharah, shalat, hingga membahas bab jihad, ghanimah, jizyah, dan qadha (peradilan). Buku Fikih Islam karya H. Sulaiman Rasyid saja membahas mulai dari thaharah hingga khilafah. Demikian juga ketika mengkaji hadits, dalam Shahih Bukhari ada Kitab al-Ahkam (Bab Pemerintahan) dan dalam Shahih Muslim ada Kitab al-Imarah (Bab Kepemimpinan), dalam Sunan Abi Dawud ada Kitab al-Aqdhiyyah (Bab peradilan), dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah ada Kitab al-Ahkam (Bab Pemerintahan), serta dalam Sunan Nasa’i ada kitab al-Bai’ah (Baiat kepada Imam). Jika bab-bab tersebut masih dirasa asing, jangan-jangan umat ini tidak pernah tuntas dalam belajar ajarannya sendiri.

Penutup

Dengan demikian, jika Ahmad Ngisomudin jujur dengan keilmuannya, sebagai seorang ahli, harusnya jangan menyembunyikan ilmunya. Kecualinya memang memiliki motif-motif lainnya. Tentu para ahli ilmu tahu  wajibnya menjelaskan pada masyarakat bahwa adanya Imam atau khalifah untuk menerapkan hukum Allah, menolong sunnahnya, membela yang dizhalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya adalah fardhu kifayah. Ini amanah ilmu. Rasulullah Saw menegaskan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah,  sanksi yang akan diberikan di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman (menyembunyikan) terhadap Ilmu dengan sabda beliau,

مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلَّا أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ

Artinya: Tidaklah seorang yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang) dari api neraka. (HR. Ibnu Majah). Wallahu a’lam.[]

 

[1] Dia mengatakan, “Padahal tidak ada seorang pun dari ulama madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka yang mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini yang wajib berada dalam genggaman kekuasaan satu orang khalifah” (Ahmad Ngisomudin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah Menuju Khilafah Islamiyyah)

[2] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.

[3] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.

[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, juz ke-19, hlm. 485.

[5] Al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.

[6] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.

[7] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.

[8] Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.

[9] Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15.

[10] Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 225-230.

[11] Ali bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam, hlm. 29.

[12] Ali bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam, hlm. 39

[13] Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hlm 136.

[14] Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim, juz I, hlm. 94.

[15] Al-Jaziri, al-Fiqh al Madzahib al-Arba’ah, vol.5, hlm. 97.

[16] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh Muslim ‘ala al-Nawawi, vol. 6, hlm. 291.

[17] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh, juz VI, hlm. 291.

[18] Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, juz IV, hlm. 594.

[19] Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.

[20] Al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.

Share artikel ini: