Oleh: Rokhmat S. Labib
Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Dia adalah seorang ulama besar dari Madzhab Syafi’i. Banyak karya besar yang lahir darinya. Ada kitab aqidah, fiqh, tafsir, dan sastra. Di antara kitabnya yang monumental adalah al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Sebuah kitab yang membahas tentang seputar hukum-hukum pemerintahan. Sebagaimana kitab-kitabnya yang lain, kitab ini pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di hadapan para ulama.
Di antara tema penting yang dibahas dalam buku ini adalah tentang hukum pengangkatan dua khalifah pada waktu yang sama. Dengan tegas al-Imam al-Mawardi menyatakan ketidakbolehannya. Dalam kitab tersebut disebutkan:
وَإِذَا عُقِدَتِ الْإِمَامَةُ لِإِمَامَيْنِ فِي بَلَدَيْنِ لَمْ تَنْعَقِدْ إمَامَتُهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِلْأُمَّةِ إمَامَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ، وَإِنْ شَذَّ قَوْمٌ فَجَوَّزُوهُ.
Apabila imamah (kepemimpinan) diberikan pada dua orang di dua negeri (atau daerah), maka imamah (kepemimpinan) tidak sah. Sebab, tidak boleh ada bagi umat ini dua orang imam dalam waktu yang sama, kendati orang menyimpang yang membolehkannya (al-Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, 29).
Mungkin ada yang segera menyanggah, “Yang disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi itu kan ‘imam’, bukan khalifah?”
Sanggahan ini sangat mungkin muncul karena banyak di antara orang yang menolak khilafah selalu mengatakan bahwa yang disebutkan oleh para ulama itu adalah imam, bukan khalifah. Ini juga yang dikatakan oleh Ahmad Ishomuddin. Menurutnya, yang ada dalam kitab-kitab para ulama itu adalah wajibnya nashb al-imam.
Perlu diketahui bahwa pernyataan al-Imam al-Mawardi tersebut merupakan kalimat pertama dalam bab:
فصل: “في البيعة لخليفتين في وقت واحد”
Bab: Tentang pembaitan dua orang khalifah dalam waktu yang sama (al-Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, 39).
Tampak jelas bahwa Imam al-Mawardi, sebagaimana para ulama lainnya, tidak membedakan antara istilah khalifah dengan imam, khilafah dengan imamah. Dalam bab lainnya, al-Imam al-Mawardi juga berkata:
وَيُسَمَّى خَلِيفَةً لِأَنَّهُ خَلَفَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي أُمَّتِهِ، فَيَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى الْإِطْلَاقِ فَيُقَالُ: الْخَلِيفَةُ.
(Imam) juga dinamai khalifah karena menggantikan Rasulullah saw dalam umatnya. Boleh juga disebut khalîfah RasuliL-lâh. Namun secara umum disebut khalifah saja (al-Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, 39).
Kembali pada penjelasan al-Imam al-Mawardi tentang larangan pengangkatan dua orang khalifah. Dalam bab tersebut, beliau tidak hanya menyebutkan larangannya, namun juga menjelaskan jalan yang harus ditempuh ketika itu benar-benar terjadi.
Setelah mengutip beberapa pendapat tentang masalah tersebut, al-Imam al-Mawardi kemudian berkata:
وَالصَّحِيحُ فِي ذَلِكَ وَمَا عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ الْمُحَقِّقُونَ أَنَّ الْإِمَامَةَ لِأَسْبَقِهِمَا بَيْعَةً وَعَقْدًا، كَالْوَلِيَّيْنِ فِي نِكَاحِ الْمَرْأَةِ إذَا زَوَّجَاهَا بِاثْنَيْنِ كَانَ النِّكَاحُ لِأَسْبَقِهِمَا عَقْدًا. فَإِذَا تَعَيَّنَ السَّابِقُ مِنْهُمَا اسْتَقَرَّتْ لَهُ الْإِمَامَةُ، وَعَلَى الْمَسْبُوقِ تَسْلِيمُ الْأَمْرِ إلَيْهِ وَالدُّخُولُ فِي بَيْعَتِهِ
Dan pendapat yang benar dan ini merupakan pendapat para fuqaha, bahwa kepemimpinan itu diberikan kepada orang yang lebih dahulu baiat dan akadnya. Hal itu seperti dua orang wali dalam pernikahan seorang wanita. Apabila dia dinikahkan dengan dua orang pria, maka pernikahan yang sah adalah yang lebih dahulu akadnya. Sehingga jika telah diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu diangkat menjadi imam, maka kepemimpinan itu tetap menjadi miliknya; dan orang yang didahului harus menyerahkan urusan kepemimpinan itu kepadanya dan berbaiat kepadanya.
Penyamaan akad imamah dengan akad nikah yang disampaikan al-Mawardi menunjukkan dengan jelas bahwa tidak boleh ada dua orang khalifah dalam satu waktu. Seandainya ada, maka sebagaimana pernikahan seorang wanita, yang sah adalah pernikahan pada akad yang pertama. Sedangkan akad yang kedua adalah akad yang batil.
Bagaimana jika tidak diketahui siapa yang lebih dulu dibaiat? Menurut beliau, kedua pengangkatan tersebut tidak sah. Untuk tahap selanjutnya, harus diadakan pengangkatan kepada salah seorang seorang dari keduanya atau orang ketiga di luar keduanya.
Setelah itu kemudian beliau pun merinci beberapa kemungkinan fakta lainnya beserta solusinya ketika terjadi dualisme khalifah. Dari semua solusi yang diterangkan, sama sekali tidak membuka peluang adanya dua orang khalifah pada waktu yang sama.
Pendapat al-Imam al-Mawardi ini sejalan dengan penjelasan al-Imam al-Nawaei, al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, dan lain-lain. Jelaslah bahwa larangan mengangkat dua orang khalifah dalam waktu yang sama adalah pendapat para ulama mu’tabar. Bukan hanya pendapat Hizbut Tahris saja.
Fakta ini bertentangan dengan pernyataan Ahmad Ishomuddin, M.Ag dalam sidang di PTUN pada Kamis, 15/3 kemarin. Ketika itu, ahli yang didatangkan oleh pemerintah itu dengan tegas mengatakan bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah dan membatasi hanya satu khilafah hanya merupakan pemndapat HTI. Tidak ada seorang pun ulama dari madzhab Sunni yang berpendapat serupa.
Untuk meyakinkan kebenaran pendapatnya, tak masalah menyebutkan pendapat orang lain yang sejalan dengan pendapatnya. Terlebih para ulama itu yang lebih kredibel dari dirinya. Namun menjadi masalah ketika pendapat para ulama itu justru bertentangan dengan pendapatnya.
Dalam dunia keilmuan apa pun, kejujuran merupakan perkara yang amat penting. Lebih-lebih dalam ilmu-ilmu syar’i. Jika itu tidak ada, bagaimana mungkin pendapatnya bisa dipercaya dan diterima?
Semoga Allah Swt menjadikan kita termasuk al-shâdiqûn, orang-orang yang jujur. []