Penangkapan Hanya Karena Diskusi Publik Tentang Prinsip-Prinsip Syariah Islam di Negara Demokrasi Terbesar di Dunia

 Penangkapan Hanya Karena Diskusi Publik Tentang Prinsip-Prinsip Syariah Islam di Negara Demokrasi Terbesar di Dunia

Surat kabar India berbahasa Inggris, Deccan Herald (DH) melaporkan bahwa otoritas kepolisian dari negara bagian Tamil Nadu di India telah melakukan penangkapan terhadap enam Muslim karena melakukan kegiatan Hizbut Tahrir (HT). Mereka yang ditangkap di antaranya Dr. Hameed Hussain, yang menyandang gelar doktor di bidang Teknik Mesin, ayah Hussain (Ahmed Mansoor) dan saudaranya Abdul Rehman, yang merupakan seorang ulama, sedang tiga orang lainnya adalah Mohammed Maurice, Khader Nawaz Sherif dan Ahmed Ali. Keenam orang tersebut adalah penduduk asli Chennai. Otoritas kepolisian menyebutkan bahwa mereka melakukan diskusi dan aktivitas politik yang mendukung sistem pemerintahan Khilafah, baik di kalangan masyarakat maupun di media sosial, sehingga keenam orang tersebut dituntut melakukan tindakan pidana dan kegiatan yang melanggar (deccanherald.com, 25/6/2024).

Lain halnya dengan kejadian di India yang mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, dimana kita dapat menyaksikan bahwa diskusi tentang prinsip-prinsip syariah yang terkait dengan bidang kehidupan politik, dianggap sebagai kejahatan. Hal ini terjadi meskipun tidak ada kejahatan apapun atau bahkan provokasi yang dilakukan oleh keenam orang tersebut. Tindakan pemerintah Modi selama pemilu dengan jelas menggambarkan niat jahat dan keputusasaan pihak berwenang India untuk mengekang ide-ide politik Islam. Pihak berwenang berupaya mengintimidasi kaum Muslim, menjelek-jelekkan gagasan-gagasan ini, dan menjauhkan kaum Muslim dari gagasan-gagasan tersebut. Pihak berwenang berusaha untuk mengintegrasikan kaum Muslim ke dalam ide-ide yang rusak dan tidak Islami. Kebijakan India ini sejalan dan merupakan bagian dari kampanye global negara-negara besar yang menentang kembalinya Islam ke ranah politik. Dunia pada umumnya sudah mengetahui kelambanan dan ketidakmampuan lembaga eksekutif dan yudikatif di negara demokrasi terbesar ini. Badan legislatifnya membuat pernyataan xenofobia dan menerapkan tindakan ekstra-yudisial, yang mengagungkan tindakan terorisme dan kekerasan massa terhadap kaum Muslim.

Diskriminasi sektarian terlihat jelas ketika Perdana Menteri India Narendra Modi berkampanye untuk pemilu 2024 di Rajasthan. Dia memicu kemarahan masyarakat dengan melontarkan tuduhan fitnah bahwa Partai Kongres akan menyerahkan kekayaan negara kepada kaum Muslim. Dia memutarbalikkan manifesto Partai Kongres yang menyerukan distribusi kekayaan kepada masyarakat miskin. Diskriminasi sektarian terlihat jelas ketika Ketua Menteri Uttar Pradesh Yogi Adityanath menyerukan untuk “menembak” kepala para penjahat, atau menghukum keluarga para penjahat dengan menghancurkan rumah mereka, secara ekstra-yudisial. Diskriminasi sektarian terlihat jelas ketika Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah mengakui keterlibatannya dalam “Pembantaian Gujarat” tahun 2002, ketika menunjukkan kemampuan Partai Bharatiya Janata (BJP).

Sungguh kegagalan negara-negara demokrasi untuk menegakkan hukum yang mereka buat sendiri sangat jelas terlihat tidak hanya di negara demokrasi terbesar namun juga di semua negara demokrasi, baik di Amerika, Inggris, di Eropa, di Asia dan entitas Zionis yang ilegal. Semangat mereka untuk mencegah kritik mendalam atas kegagalan ini menjadikannya semakin buruk dan busuk. Negara-negara demokrasi menghukum para “penyeru perubahan” dengan membuang-buang waktu mereka di penjara dan lambatnya proses hukum, serta bersembunyi di balik selubung legitimasi. Hal ini terjadi ketika kediktatoran menghukum para “ppenyeru perubahan” secara terang-terangan.

Hizbut Tahrir tidak akan lelah menyampaikan kebenaran dan menyerukan sistem Khilafah berdasarkan metode Kenabian (‘ala minhājin nubuwah) meskipun ada ancaman yang dihadapi sistem buatan manusia seperti demokrasi dan kediktatoran. Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam yang didirikan dengan tujuan menegakkan Khilafah Islam di negeri-negeri kaum Muslim. Hizbut Tahrir membatasi aktivitasnya pada metode perjuangan pemikiran (intelektual), ideologis dan politik Nabi SAW untuk menegakkan kembali Khilafah di negeri-negeri kaum Muslim. Di negeri-negeri di mana kaum Muslim hidup sebagai minoritas, Hizbut Tahrir berjuang di tengah-tengah komunitas Muslim, mengingatkan mereka akan kewajiban menegakkan Khilafah dan mengajak mereka untuk memfasilitasi realisasinya di negeri-negeri kaum Muslim. Selama lebih dari tujuh dekade keberadaannya, Hizbut Tahrir tidak pernah menyimpang dari metode politik intelektualnya. Terlepas dari penentangan, propaganda dan narasi-narasi palsu, Hizbut Tahrir akan terus berupaya menegakkan kembalinya Khilafah Islam di mana kaum Muslim dan non-Muslim dapat hidup dalam damai dan harmonis di bawah sistem yang ditetapkan oleh Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa dan Perkasa.

﴿قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ﴾

Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Dialah Zat Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan hanya kepada-Nya kami bertawakal. Kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata’.” (TQS. Al-Mulk [67] : 29).

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 17/6/2024.

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *