Mediaumat.news – Direktur HRS Center Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. mempertanyakan penangkapan Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan —menjelang aksi penolakan UU Omnibus Law 13 Oktober di Jakarta— murni berdasarkan hukum atau mengandung kepentingan politik.
“Apakah penangkapan tersebut murni berdasarkan hukum, atau justru mengandung kepentingan politik?” ungkapnya kepada Mediaumat.news, Selasa (13/10/2020).
Pertanyaan itu muncul lantaran begitu cepatnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) keluar (13 Oktober 2020) hanya berselang sehari dari Laporan Polisi (LP) pada 12 Oktober 2020. “Begitu juga dengan penangkapan di tanggal yang sama dengan Sprindik. Kondisi demikian tidaklah lazim dan sulit untuk dapat dimengerti,” ungkap Pakar Hukum Pidana tersebut.
Dua Alat Bukti?
Apalagi berdasarkan yuridis, penangkapan baru legal dilakukan apabila minimal ada dua alat bukti dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan. Alat bukti tersebut yakni; Surat, Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli (Pasal 184 KUHAP).
“Di sini dipertanyakan apakah minimal dua dari tiga alat bukti tersebut sudah diperoleh oleh penyidik? Mengingat Sprindik diterbitkan sehari setelah LP, tentunya menimbulkan keraguan publik,” terang Abdul Chair.
Menurutnya, Mahkamah Konstitusi juga menentukan bahwa sebelum penetapan status tersangka, harus dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Hal itu untuk menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup. Pemeriksaan calon tersangka dan keberadaan minimal dua alat bukti bersifat kumulatif, bukan alternatif.
“Tegasnya, keduanya merupakan satu kesatuan atau berpasangan dan oleh karenanya tidak terpisahkan,” tegas Abdul Chair.
Memenuhi Unsur Delik?
Selain itu, Abdul Chair juga mempertanyakan apakah Syahganda Nainggolan telah memenuhi unsur delik sebagaimana yang disangkakan yaitu melanggar delik SARA Pasal 45 Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 14 Ayat (2) UU Peraturan Hukum Pidana.
Menurutnya, Pasal 45 Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU ITE itu merupakan delik materiil dengan menunjuk frasa “untuk menimbulkan”.
“Apakah telah nyata sungguh-sungguh terjadi timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA)? Kapan dan di mana?” tanyanya.
Dengan demikian, harus terwujud adanya akibat timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang berdasarkan SARA. “Tidak dapat dibenarkan adanya penafsiran, bahwa pemerintah —maupun partai politik dan badan hukum— termasuk dalam pengertian Antargolongan. Golongan di sini adalah golongan penduduk berdasarkan Hukum Tata Negara,” tegasnya.
Ditangkap Setelah Rusuh?
Selain itu, menurut Abdul Chair, Pasal 14 Ayat (2) UU Peraturan Hukum Pidana, tidaklah berdiri sendiri, melainkan terkait dan berpasangan dengan Ayat (1). Pada Ayat (1), seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong adalah memang berasal dari dirinya sendiri. Oleh karena itu disebutkan “dengan sengaja” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Dirinya memang menghendaki dan mengetahui perbuatannya termasuk akibatnya.
Dengan kata lain, bebernya, delik Ayat (1) berpasangan dengan Ayat (2), keduanya dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Pertanyaannya, siapa yang pertama kali menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong tersebut? Lebih dari itu Ayat (1) tergolong delik materiil dengan frasa “menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”.
“Keonaran di sini identik dengan kerusuhan. Apakah pula kerusuhan di masyarakat itu sungguh-sungguh sudah terjadi sebelum yang bersangkutan ditangkap?” tanya Abdul Chair.
Syahganda Nainggolan dan pengurus KAMI lainnya termasuk Anton Permana dan Jumhur Hidayat ditangkap sebelum aksi penolakan UU Omnibus Law Cilaka pada 13 Oktober berlangsung.
Aksi yang dihadiri lebih dari 10 ribu massa berlangsung dari siang hingga sore tersebut berjalan lancar. Massa dari berbagai elemen termasuk Persaudaraan Alumni 212 dan KAMI membubarkan diri dengan tertib. Namun beberapa menit kemudian muncul sekelompok orang tak dikenal dari arah berbeda melempari polisi.[] Joko Prasetyo