Mediaumat.news- Kepolisian yang melakukan penangkapan 30 lebih terduga teroris yang dikaitkan dengan Bom Makassar dinilai Advokat Ahmad Khozinudin, S.H. sebagai praktik penegakan hukum yang diskriminasi dan patut diduga kriminalisasi.
“Ini praktik penegakan hukum yang diskriminasi, dan patut diduga juga terjadi kriminalisasi terhadap orang yang merdeka dengan nomenklatur terduga terorisme,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Ahad (4/4/2021).
Dari sisi diskriminasi, ia membandingkan dengan kasus korupsi yang menurutnya, meski sudah menjadi tersangka, kelanjutan perkaranya kerap dihentikan dengan konsekuensi bebasnya tersangka.
Terlebih setelah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus korupsi justru di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). “Terakhir, koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dilepaskan oleh (KPK),” jelasnya, “sampai ada pemeo, KPK sekarang kepanjangan Komisi Pembebasan Korupsi.”
Kriminalisasi
Sedangkan dari sisi kriminalisasi, Ahmad mengatakan, proses penangkapannya hanya berdasarkan dugaan, bukan dua alat bukti yang sah seperti kasus korupsi.
Bahkan, meski sepanjang tahun 2020 kepolisian telah melakukan penangkapan terhadap 228 orang dengan tuduhan terduga teroris, menurut Ahmad, isu tersebut hanya heboh di tingkat kepolisian dan tidak dapat dibuktikan semua narasinya di pengadilan. “Nyatanya, publik tidak pernah tahu berapa orang yang ditangkap yang perkaranya sampai di pengadilan,” ungkapnya.
Dengan begitu, ia menyayangkan perbedaan sikap hukum terhadap dua kasus yang sama-sama terkategori kejahatan extraordinary. Dalam kasus korupsi, ia mengatakan, tidak ada koruptor yang ditangkap hanya dengan label terduga. Tetapi berbeda perlakuan terhadap kasus terorisme.
“Sampai urusan kaos berlogo ormas saja dijadikan barang bukti,” ungkapnya, “belum lagi narasi jihad, thagut, cadar, dan segala hal yang berkaitan dengan Islam dikait-kaitkan.”[] Zainul Krian