Mediaumat.id – Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai penanganan kasus brigadir J dan 6 laskar FPI sangat berbeda.
“Sangat berbeda sekali,” ungkapnya di Kabar Petang: Mencari Keadilan (Dari Kematian 6 Laskar FPI Sampai Brigadir J, Kamis (11/8/2022) melalui kanal YouTube Khilafah News.
Agung menyebut, setidaknya ada dua perbedaan yaitu tekanan publik dan keputusan politik. “Baik kasus Brigadir J maupun 6 laskar FPI, tekanan publiknya luar biasa, tapi keputusan politiknya berbeda” ucap Agung.
Terkait 6 lskar FPI, Agung menuturkan ungkapan Jokowi, “Masyarakat tidak diperbolehkan bertindak semena-mena dan melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan masyarakat,” ucap Agung mengutip pernyataan Jokowi.
Sementara terkait Brigadir J, lanjut Agung, Presiden Jokowi ngomong , “Usut tuntas kematian Brigadir J ini dengan sejujur-jujurnya, seterang-terangnya.”
“Beda kan rasa bahasanya? Kalau terkait 6 laskar FPI kecenderungan Jokowi itu mengatakan tidak boleh semena-mena pada aparat, tapi kalau terkait dengan Joshua ini harus diusut tuntas,” sesal Agung.
Dari sisi tembak menembak, ucap Agung, sama tapi dari sisi perlakuan berbeda. “Satu nyawa Brigadir J dibanding 6 laskar FPI seharusnya keberpihakan politik 6 laskar FPI jauh lebih tinggi, tapi kasus J diproses ada otopsi ulang sementara untuk kasus 6 laskar FPI hampir tidak ada proses otopsi berikutnya,” banding Agung.
Hal-hal seperti ini, dinilai oleh Agung sangat menunjukkan ketidakberpihakan sehingga kasus Brigadir J ini seharusnya menjadi bagian untuk mengusut kembali kasus KM 50 terkait kematian 6 laskar FPI.
Brand
Tentang perlakuan oknum kepolisian, Agung mengatakan, sering melakukan penangkapan sewenang-wenang. “Publik mengidentifikasi, kepolisian ketika menangani kasus-kasus tertentu lebih mengedepankan penggunaan kekerasan yang berlebihan,” ungkapnya.
Agung memaparkan data temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sepanjang Juni 2019 hingga Mei 2020 kepolisian bertanggung jawab sebagai aktor 48 kasus dari 62 kasus penyiksaan.
“Ini yang tercatat secara administratif dan diketahui oleh KontraS, belum lagi ya seperti gunung es yang mungkin di luar pengetahuan publik bisa jadi kasus ini lebih banyak lagi, sehingga institusi kepolisian hari ini mendapat brand di hadapan publik sering menggunakan tindakan-tindakan kekerasan yang berlebihan dan impunitas (pengampunan) dalam menangani kasus dan dalam penegakan hukum,” beber Agung.
Agung juga menilai, kepolisian sangat jarang menangani pelanggaran-pelanggaran kekerasan oleh oknum polisi dengan investigasi yang independen, menyeluruh, dan efektif. “Pelanggaran tindak kekerasan sering hanya ditindak melalui mekanisme internal dengan bahasa pelanggaran kode etik,” ungkap Agung seraya mengatakan proses peradilannya pun acap kali tidak transparan.
Agung berharap, kepolisian membenahi citra kekerasan dan arogansi ini. “Ini salah satu masalah utama yang saya pikir kalau tidak dibenahi akan menciderai kinerja kepolisian dalam melayani rakyat,” sarannya.
Kasus Brigadir J dan 6 laskar FPI dinilai Agung sebagai taruhan institusi kepolisian. “Seharusnya polisi itu betul-betul bertindak presisi seperti gagasan mereka, prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan seperti yang diusung oleh Sigit Prabowo,” harapnya.
Masukan
Agung lalu memberikan tiga poin masukan terkait kinerja institusi kepolisian ini. Pertama, harus didudukkan pada kedudukannya yang tepat yaitu menjaga keamanan dalam negeri. “Ini harus clear. Semua tugas dan fungsinya harus diatur sedemikian rupa yang tidak bertumpang tindih dengan kegiatan tentara,” ucap Agung.
Pendekatan yang dilakukan, terang Agung, betul-betul pendekatan humanis. “Harus memiliki karakter unik, yaitu keikhlasan, akhlak yang baik, seperti tawadu, penuh kasih sayang, tindak tanduknya juga baik seperti murah senyum, mengucapkan salam kemudian menjauhi perkara-perkara yang subhat, bijak dan lapang dada, menjaga lisan, berani, jujur, amanah, taat berwibawa dan juga tegas,” ungkap Agung.
Karakter ini, lanjutnya, mesti dibentuk sejak proses pendidikannya. “Oleh karena itu proses pendidikan dari kepolisian itu seharusnya bukan seperti pendidikan militer,” tukasnya.
Kedua, kata Agung, harus dibangun partisipasi masyarakat secara luas agar tugas-tugas kepolisian mendapat balancing power terkait dengan proses yang mereka lakukan. Ketiga, hukum yang tegas.
“Ketiga hal ini akan membangun satu sistem kepolisian terjaga dengan baik dalam proses penataan kepolisian yang lebih berwibawa lebih baik di masa yang akan datang,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun