Mediaumat.id – Merespons pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang mengatakan ‘212 bukan kebangkitan Islam tetapi tujuannya adalah politik’, Pemimpin Redaksi Tabloid Media Umat Farid Wadjdi menyatakan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan.
“Jadi ini yang paling penting bahwa Islam itu adalah ajaran yang sempurna, karena itu Islam dan politik itu, ya memang tidak bisa dipisahkan,” ujarnya saat diwawancarai Radio Dakta, Rabu (15/12/2021).
Menurut Farid, Islam diturunkan oleh Allah SWT secara sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk mengatur aspek politik, ekonomi dan sebagainya.
“Sempurna itu kan artinya tidak ada cacatnya, tidak ada kurangnya, termasuk dia komperehensif mengatur seluruh aspek kehidupan,” ucapnya.
Farid melihat, di dalam Al-Qur’an tidak hanya bicara tentang penegakkan shalat, tapi juga bicara tentang kewajiban taat kepada ulil amri atau penguasa, dan ini adalah masalah politik.
Selain itu, kata Farid, di dalam hadits Rasulullah SAW juga ada kewajiban mengoreksi penguasa. Bahkan disebutkan sebaik-baik jihad adalah melontarkan kata-kata yang hak kepada pemimpin yang zalim.
“Nah kalau kita lihat ya, kalau ada orang mengkritik penguasa, pasti orang mengatakan itu kan politik, ya memang, memang Islam mengajarkan itu,” tuturnya.
Ukuran Politik Islam
Farid juga mengatakan penting untuk mengetahui ukuran berpolitiknya itu apa, sehingga jelas ketika berpolitik itu bisa disebut politik Islam bukan hanya sekadar mengatasnamakan Islam.
Pertama, menurut Farid, dasar dari aktivitas politik adalah Islam. Kedua, standar ketika orang berbicara politik Islam adalah hukum syara’, akidah Islam, serta halal dan haram. “Itu yang kemudian menjadi standar,” tegas Farid.
Ukuran lainnya, menurut Farid, adalah untuk apa politik itu digunakan? Misalnya ketika Berkuasa digunakan untuk apa?
“Kalau digunakan untuk menerapkan syariat Islam, melindungi umat Islam, menjaga akidah umat Islam, ya memang itulah gunanya kekuasaan,” ungkapnya.
Namun, jika sebelumnya berkampanye mendatangi ulama, kemudian setelah berkuasa malah memerangi ulama, itulah yang mengatasnamakan Islam.
“Kalau kampanyenya pakai kopiah, jadi imam shalat, mendatangi ulama, tapi ketika berkuasa malah memerangi ulama, nah itu yang namanya mengatasnamakan agama,” tegasnya.
Ia mengatakan, kalau ada kekuatiran pihak-pihak yang mengatasnamakan Islam, memang harus diwaspadai. Tapi bukan berarti setiap aktivitas umat yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa kemudian dicap mengatasnamakan Islam.
“Nah itu yang kemudian kecenderungannya berarti itu subyektif,” pungkasnya.[] Agung Sumartono dan Ade Sunandar