Pemolisian Sejarawan RI Terkait ‘Agresi Belanda’ Dinilai Aneh

Mediaumat.id – Sejarawan RI Bonnie Triyana yang dipolisikan di Belanda karena pernyataannya dalam sebuah surat kabar setempat dianggap memalsukan sejarah Indonesia-Belanda karena menyebut Agresi Belanda terkait periode 1945-1947 yang di Indonesia memang dikenal sebagai Agresi Belanda sementara di Belanda dikenal sebagai Periode Bersiap, dinilai sebagai suatu yang aneh.

“Ini sebenarnya sebuah peristiwa yang aneh ya, aneh itu soal persepsi saja ya, kok jadi masalah politik apalagi sampai dilaporkan begitu,” ujar Sejarawan Moeflich Hasbullah kepada Mediaumat.id, Selasa (24/1/2022).

Moeflich heran, dalam konteks ini Belanda yang merupakan salah satu negara modern di Eropa bisa menjadi negara otoriter seperti itu, padahal hanya soal beda pendapat tapi langsung main lapor laporan. Padahal Belanda mengklaim sebagai negara yang demokratis, negara yang makmur, maju, dan sebagainya termasuk dalam cara berpikir.

Menurut Moeflich, sejarah yang sebenarnya itu adalah faktanya, sedangkan soal penyebutan agresi ataukah bersiap itu hanya soal persepsi saja. Ia mencontohkan, seperti para pejuang melawan kolonial, di Indonesia disebut pahlawan, sedangkan oleh kolonialis disebut pemberontak.

“Tidak ada perbedaan antara agresi dan bersiap, sebab peristiwanya sama. Tapi beda posisi beda pandangan,” ucapnya.

Moeflich mengatakan, fakta sejarah sudah pasti secara alami akan dilihat dari persepsi yang berbeda. Dan fakta sejarah ketika dipersepsi oleh orang yang berbeda, hasilnya pasti beda. Tapi seharusnya beda pendapat tentang persepsi sejarah tidak menjadi masalah politik dan tidak dibawa ke ranah hukum, sebab itu hanya masalah akademik terkait pemikiran saja.

“Jadi harusnya pihak Bonnie Triyana dan pihak Belanda berdiskusi saja saling berargumentasi dan berdebat dalam tulisan,” beber Moeflich.

Moeflich mengungkapkan, fakta yang tidak bisa ditolak bahwa negara-negara Eropa termasuk Belanda, Inggris, Portugis telah melakukan kolonialisasi di seluruh wilayah penghasil rempah-rempah. Sehingga sebagai seorang Muslim apalagi dari Indonesia harus melihat Belanda sebagai agresor, penjajah dan kolonial.

“Jadi itu yang benar, dari perspektif Muslim, dari perspektif pribumi, dari perspektif Indonesia, karena itu faktanya,” tegas Moeflich.

“Jadi kalau sampai hal-hal ini dilibatkan kepada kepolisian menjadi masalah hukum, dilaporkan ini menurut saya aneh begitu, kok Belanda dalam masa ini tidak berbeda dengan Indonesia yang sekarang memang banyak disebut oleh pengamat cenderung otoriter. Dan indeks demokrasi sangat menurun drastis, sampai soal-soal pikiran itu dipolisikan,” pungkas Moeflich.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: