Mediaumat.info – Pemimpin Muslim hari ini semestinya meneladani kemuliaan dan keteladanan Sultan Muhammad al-Fatih. Hal itu dinyatakan Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki dalam video Inilah Contoh Pemimpin yang Mulia, Rabu (6/3/2024) di kanal YouTube Bincang Bersama Sahabat Wahyu.
Menurut Wahyudi, Al-Fatih bernama asli Muhammad II. Dilahirkan pada tanggal 20 April 1429 M, bertepatan dengan 26 Rajab 833 H, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel pada 1453 M.
Sebelumnya, Al-Fatih berguru kepada seorang ulama ternama, yaitu Syaikh Ahmad bin Ismail al-Kurani. Selain ke Al-Kurani, ia juga belajar ke Syaikh Ibnu al-Tamjid, Syaikh Khairuddin, Syaikh Sirajuddin al-Halbi, dan Syaikh Aaq Syamsuddin serta para ulama yang lainnya.
Pun dilihat dari kepribadiannya, sejarah menggambarkan Al-Fatih sebagai sosok yang memiliki kepribadian positif dan mulia. Ia pemuda yang cerdas. Kemauannya yang keras disertai sifat pemberani dan fisik yang kuat membuatnya mampu mengatasi berbagai rintangan yang dihadapinya.
Artinya, Al-Fatih sebagai seorang pemimpin suatu negeri telah mewariskan banyak sekali pengetahuan kepada umat Islam setelahnya, yang semestinya pula bisa diikuti dan dicontoh oleh para pemimpin hari ini.
Tak ayal, perkara inilah yang menurut Wahyudi, harus dipikirkan para pemimpin negeri Muslim hari ini. Bahkan seperti diketahui bersama, kemuliaan Al-Fatih dijamin oleh Rasulullah SAW, 8 abad sebelum penaklukan.
“Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan,” demikian terjemahan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya.
Untuk ditambahkan, Konstantinopel, ibu kota pemerintahan Byzantium (Romawi Timur) kala itu merupakan incaran banyak bangsa di dunia. Wilayah yang dikelilingi oleh laut dan terletak persis di antara benua Asia dan Eropa ini dianggap paling strategis di dunia sehingga banyak bangsa berusaha untuk merebut dan menguasainya.
Akan tetapi, upaya mereka sia-sia karena perbentengan Konstantinopel yang sangat kuat dan tidak bisa ditembus. Namun di bawah kepemimpinan Muhammad al-Fatih, Konstantinopel justru jatuh ke tangan seorang sultan yang di mata khalayak Barat dianggap lemah dan gagal memimpin.
Maknanya, Konstantinopel tidak akan jatuh ke tangan kaum Muslim jika seandainya orang yang memimpin penaklukan tidak memiliki kemauan yang kuat serta kesungguh-sungguhan dalam berjihad. Semua sifat ini ada pada diri Al-Fatih sehingga tidak hanya Konstantinopel yang berhasil ia bebaskan, tetapi juga beberapa wilayah lainnya di Eropa dan Asia Minor.
Bahkan keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel dan negeri-negeri lainnya telah memberinya gelar yang lain, yaitu “Al-Fatih (Sang Penakluk)” atau “Abu Fath (Bapak Kemenangan)”.
Di sisi lain Al-Fatih juga sangat menonjol dalam hal kedermawanan. Ia banyak membantu para ulama serta orang-orang tak mampu yang membutuhkan bantuan. Sikapnya yang dermawan ini menyebabkan ia memperoleh gelar “Abul Khair (Bapak Kebaikan)”.
Maka itu, kata Wahyudi kembali, para pemimpin Muslim harusnya mencontoh gaya kepemimpinan Al-Fatih. “Semestinya para pemimpin hari ini mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih,” tuturnya.
Yang tak kalah pentingnya, pungkas Wahyudi, kendati telah berhasil menaklukkan ibu kota pemerintahan Byzantium, Al-Fatih tetap memberikan keteladanan dengan tidak menggunakan sistem pemerintahan Romawi tetapi justru menerapkan hukum-hukum Allah SWT dalam pemerintahannya. [] Zainul Krian