Pemetaan Masjid Terkait Radikalisme Dinilai Salah Paradigma
Mediaumat.id – Rencana pemetaan masjid oleh Polri yang katanya untuk mencegah radikalisme dan ekstremisme di Indonesia, dinilai Pemimpin Redaksi Al-Wa’ie Farid Wadjdi sebagai kerangka berpikir yang salah dalam melihat Islam. “Ini ada salah paradigma ketika melihat Islam, Islam itu dianggap ancaman,” ujarnya dalam siaran interaktif Sorotan Dunia Islam, Rabu (02/02/2022) di radio Dakta 107.0 FM.
Upaya itu, kata Farid, makin memperkuat anggapan bahwa rezim sekarang islamofobia, terlebih terhadap kebangkitan Islam.
Padahal memperjuangkan tegaknya syariat Islam, menurutnya, adalah amanah yang belum terwujud dari para ulama pendiri bangsa. “Umat Islam yang ingin menjalankan amanah para ulama yang belum terwujud itu, kenapa kemudian dianggap sebagai ancaman?” herannya.
Lebih lanjut, ungkap Farid, para ulama dahulu berada di garis terdepan melawan penjajahan. “Lihatlah para ulama ketika di BPUPKI, ketika di Dewan Konstituante. Apa yang mereka perjuangkan? Kan Islam sebagai dasar negara,” terangnya.
Terlepas dari itu, ia khawatir, sikap rezim terkait pemetaan masjid yang menurutnya tergolong represif itu akan menjadikan umat Islam marah. “Penguasa sekarang kok seperti ini? Terus menerus menjadikan umat Islam sebagai musuh,” ucapnya.
Karena itu ia berharap agar paradigma yang beranggapan syariat Islam bakal menjerumuskan dan memecah belah negeri atau bahkan meminggirkan umat non-Muslim, diubah menjadi syariat Islam baik untuk negeri.
“Syariat Islam adalah rahmatan lil alamin. Nah, coba kita ubah paradigma itu, maka cara pandang kita terhadap apa yang terjadi di tengah masyarakat itu akan lebih dingin,” tuturnya.
“Kalau Islam diterapkan pasti akan memberikan kebaikan kepada umat manusia, bukan hanya Islam tetapi juga non-Muslim,” imbuhnya.
Dibutuhkan, Tetapi…
Di sisi lain, ia mengatakan, pemetaan sebenarnya hal yang bersifat teknis di dalam sebuah menajemen masjid. Semisal, meningkatkan peran masjid sebagai tempat ibadah dan pelayanan umat di sekitarnya yang menurutnya memang positif dan dibutuhkan.
“Tetapi kalau kemudian pemetaan masjid ini didasarkan kepada paradigma perang melawan radikalisme, nah di situ yang menjadi persoalan.” kritiknya.
Karena ia melihat, isu war on radicalism sebenarnya adalah program Barat untuk memerangi kelompok-kelompok Islam yang dianggap berbahaya bagi kepentingan penjajahan mereka.
Pertama, kelompok yang ingin menegakkan syariat Islam secara totalitas. Kedua, kelompok yang tegas berpegang teguh pada akidah Islam. Ketiga, kelompok yang ingin mempersatukan umat Islam di seluruh dunia.
“Yang keempat, kelompok yang secara pemikiran, bertentangan atau menentang pemikiran-pemikiran Barat yang bertentangan dengan Islam seperti liberalisme, misalkan,” tambahnya.
Ia juga memaparkan, penggunaan paradigma dari Barat tersebut tentu akan menimbulkan persoalan besar. Di antaranya, berpotensi memunculkan kriminalisasi di tengah umat.
“Seorang ulama, ustaz, atau masjid yang sebenarnya menyerukan syariat Islam akan dicap kriminal, kemudian dimata-matai, dan seterusnya,” urai Farid.
Lebih dari itu, bahkan bisa menimbulkan konflik horizontal atau yang kerap disebut adu domba di tengah masyarakat.
Sedangkan adu domba, sangat diharamkan di dalam Islam. “Apalagi adu domba ini diperankan oleh negara dan diberikan peluang oleh negara. Ini sangat menimbulkan konflik ke depannya,” tukasnya.
Maka, ia heran, seharusnya negara tidak memberikan jalan sedikit pun untuk itu. “Kita tahulah bagaimana isu radikal itu digunakan untuk kepentingan politik. Misalkan, bagaimana isu radikal digunakan untuk menggeser sumber daya manusia yang sebenarnya memiliki potensi yang baik di KPK misalkan,” bebernya.
Namun, ia melihat, pemerintah yang seharusnya fokus mengurus persoalan masyarakat semisal, kemiskinan, pengangguran, disintegrasi atau bahkan korupsi, malah terkesan tak serius menanganinya.
“Jangan masalahnya korupsi, masalahnya pengangguran, masalahnya kemiskinan, solusinya radikal. Ini yang sering disebut dengan Jaka Sembung bawa golok,” pungkasnya.[] Zainul Krian