Mediaumat.id – Terkait tingginya realisasi subsidi pada Mei 2022, Pengamat Ekonomi Politik Salamuddin Daeng menilai pemerintah tidak akan mengumumkan bahwa APBN bangkrut.
“Pemerintah memang tidak akan pernah mengumumkan secara terbuka bahwa APBN bangkrut dan tidak lagi sanggup menanggung beban subsidi,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (14/7/2022).
Menurutnya, hal itu dilakukan karena beberapa hal. Pertama, karena subsidi memang merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam UU. Tentu pemerintah tidak mau dianggap gagal menjalankan kewajiban kepada negara dan rakyat.
Kedua, pemerintah tetap membutuhkan kepercayaan internasional dan investor agar tetap mendapatkan bantuan likuiditas dari pasar untuk kesinambungan anggaran.
Ia menilai, defisitnya anggaran akan menciptakan ketergantungan terhadap sumber-sumber pembiayaan. “Sistem anggaran yang defisit menciptakan ketergantungan pada sumber-sumber pembiayaan baik dari dalam maupun dari luar negeri,” ujarnya.
Angka defisit yang besar, kata Daeng, mencerminkan kebutuhan pembiayaan (utang) yang besar agar tetap dalam sistem anggaran yang ambisius atau ekspansif atau pro pada pertumbuhan.
Menurutnya, pemerintah tidak akan mengurangi belanja. Yang mungkin dilakukan adalah menekan jumlah subsidi.
“Pemerintah tidak mungkin mengurangi belanja, namun sangat mungkin menekan jumlah subsidi yang tidak langsung atau mengurangi subsidi yang bersifat terbuka, berbasis komoditas, dengan alasan anggaran negara yang tidak lagi mencukupi,” bebernya.
Kemudian ia menjelaskan tidak tercukupinya anggaran karena dua sebab. “Karena dua sebab, penerimaan yang menurun akibat tekanan resesi ekonomi, sementara pengeluaran atau beban bertambah,” terangnya.
Namun, kata Daeng, ada argumentasi uang menolak pemerintah menjalankan subsidi tertutup dengan alasan pemerintah masih cukup uang karena mendapatkan winefall (durian runtuh) dari kenaikan harga komoditas. Argumentasi itu berbasis pada meningkatnya pendapatan SDA pemerintah akibat kenaikan harga komoditas global.
Sebagai pengamat, ia menilai besarnya jumlah penerimaan negara dari SDA masih tidak sebanding dari besarnya jumlah pengeluaran.
“Namun besaran penerimaan negara dari SDA retaif belum sebanding dengan kebutuhan subsidi yang sangat besar. Belum lagi masalah utang negara yang besar yang mengakibatkan beban bunga dan cicilan utang yang harus ditanggung setiap tahun sangatlah besar,” paparnya.
Sementara, terang Daeng, sistem bagi hasil sumber daya alam belum sejalan dengan kebutuhan pemerintah mendapatkan dana yang besar bagi pembangunan. Ada terobosan seperti rencana pungutan ekspor batu bara dan sumber daya alam lainnya yang selama ini dijual ke luar negeri, namun sistem itu belum berjalan secara terbuka dan transparan.
Terakhir, Daeng menegaskan bahwa laju eksploitasi akan tertahan oleh agenda perubahan iklim. “Selain itu laju eksplotasi sumber daya alam akan tertahan oleh agenda perubahan iklim, sehingga dapat dipastikan akan semakin mengecil di masa mendatang, walaupun harga komoditas meningkat,” pungkasnya.[] Nur Salamah