Mediaumat.id – Langkah pemerintah yang bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terutama jenis pertalite dan solar, dinilai tidak tepat. “Tidak tepat,” tegas Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.Si. kepada Mediaumat.id, Ahad (21/8/2022).
Pasalnya, meski terjadi kenaikan beban belanja subsidi seiring naiknya harga minyak mentah internasional, tetapi dari sisi pendapatan pemerintah juga terjadi kenaikan.
Diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan mengungkapkan kenaikan harga pertalite dan solar akan dilakukan lantaran pemerintah telah memberi subsidi yang besar untuk energi hingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) begitu kuat.
“Nanti mungkin minggu depan Presiden akan mengumumkan mengenai apa bagaimana kenaikan harga ini,” ujarnya Menko di Universitas Hasanuddin, Makassar, seperti dikutip dalam video YouTube pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Luhut berujar presiden sudah mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mungkin mempertahankan besarnya subsidi energi. Sebab, menurutnya harga BBM di Indonesia adalah yang termurah.
Ditambah sinyal ini menguat setelah anggaran subsidi dan kompensasi energi disebut-sebut membengkak sampai Rp502 triliun.
Kendati demikian, lanjut Hatta, sebenarnya tidak ada beban berlebih yang harus ditanggung pemerintah. “Inilah yang pernah terjadi di tahun 2011 hingga 2014 yang ketika itu juga mengalami kenaikan (harga) minyak mentah internasional hingga USD100 lebih,” ungkapnya.
Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari statistik pajak penghasilan sektor migas dan penerimaan sumber daya alam (SDA) di tahun-tahun tersebut. Yang apabila dibandingkan dengan belanja subsidi BBM senantiasa surplus meskipun terjadi kenaikan harga minyak internasional.
Malah secara perbandingan, penerimaan negara dari sektor SDA dan migas terhadap total subsidi hanya minus Rp63,668 triliun di tahun 2014. Rinciannya, sebagaimana yang dirilis Bank Indonesia (BI) tentang statistik ekonomi dan keuangan Indonesia, penerimaan dari SDA dan migas sebesar Rp328,294 triliun, dan total subsidi yang harus dikeluarkan Rp391,963 triliun.
Lantas dengan melihat pula postur APBN Indonesia tahun 2022, Hatta memaparkan, realisasi hingga kuartal kedua sudah tinggi mencapai 73% untuk migas dan 103% untuk minerba.
Detailnya, seperti diungkap oleh ‘APBN Kita’ edisi Juni 2022, realisasi penerimaan negara bukan pajak, untuk migas Rp62.946,68 miliar dari rencana perolehan sebesar Rp85.900,62 miliar dan minerba Rp29.011,91 miliar dari rencana pemasukan sebesar Rp28.011,27 miliar di tahun 2022.
Lebih jauh, masih dalam dokumen ‘APBN Kita’, lanjut Hatta, juga disebutkan, dari sisi dimensi kelompok pajak, PPh migas justru menjadi top performer.
Dengan demikian, ia mengatakan, data-data tersebut mengindikasikan bahwa yang terjadi pada tahun 2011 sampai dengan 2014 sebelumnya juga terjadi di tahun 2022 ini.
Artinya, tidak layak pemerintah merasa terbebani dengan kenaikan subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung. Karena kenaikan beban belanja diimbangi dengan kenaikan pendapatan pajak dan nonpajak di sektor migas dan minerba.
Lebih jauh lagi, kondisi rakyat sekarang tengah menghadapi beban ekonomi yang sudah semakin berat, berikut harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Hal itu tercermin dari tingkat inflasi tahunan (YoY) bulan Juli 2022 yang kata Hatta, berada di angka 4.94%, tertinggi sejak Oktober 2015.
Maka dengan kenaikan BBM jenis pertalite dan solar, inflasi kalender 2022 ia perkirakan bisa tembus 6 hingga 8 persen.
Lebih dari itu, dengan tingkat inflasi yang demikian tinggi di satu sisi dan di sisi lain kemampuan ekonomi mayoritas rakyat juga sudah sangat lemah, dampaknya bagi rakyat menjadi semakin merusak.
Apalagi kelompok masyarakat aspiring middle class (calon kelas menengah) yang konsumsi per bulan, per kapita, per kepala antara Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta, mencapai 115 juta jiwa, berdasarkan data Bank Dunia.
Sehingga kalau pemerintah tetap ngotot menaikkan harga BBM bersubsidi terutama jenis pertalite dan solar, masyarakat tentunya sangat berat menghadapi dampak inflasi yang otomatis terjadi.
“Dengan nilai konsumsi per bulan yang demikian, tentu sangat berat menghadap tingkat kenaikan harga-harga berang yang seperti sekarang,” ujarnya.
Kapitalistik
Hatta menyampaikan, secara data perbandingan tadi, sebenarnya APBN masih sanggup memberikan subsidi bagi rakyat. Adapun penyebab seolah pemerintah merasa tidak sanggup, sambungnya, lebih dikarenakan cara pandang terhadap subsidi. “Subsidi dalam perspektif fiskal kapitalistik cenderung dianggap seperti racun bagi APBN,” jelasnya.
Sebaliknya, pembayaran bunga utang justru dianggap kewajaran. Padahal dari sisi nilai uang yang harus dikeluarkan untuk membayar bunga utang tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nilai subsidi. “Tahun 2023 pembayaran bunga (utang) diprediksi hingga Rp440 triliun,” ungkapnya.
Selain itu, kesan ngototnya pemerintah ingin menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut, dinilai karena di tahun 2023 sudah tidak boleh lagi ada defisit APBN melebihi 3%, sebagaimana tampak pada nota keuangan APBN 2023 defisit APBN yang dipatok di angka 2.8%.
Di sisi lain, pula disebabkan Indonesian crude price (ICP) atau indeks harga untuk minyak mentah dari Indonesia diasumsikan di angka USD90 per barel. “Dua hal yang membuat pemerintah berpikir untuk mengurangi belanja dengan cara menaikkan harga jual eceran BBM,” tukasnya.
Meski nantinya, sebagai bentuk upaya menanggulangi dan mencegah dampak terjadinya inflasi, kemiskinan baru berikut penurunan daya beli masyarakat, misalnya, pemerintah berkilah akan memberikan BLT dan sejenisnya.
Namun ia mengingatkan, BLT hanya bersifat sementara sekaligus hanya mencakup sebagian dari rakyat yang terdampak inflasi. Padahal inflasi cenderung bertahan lama. “Terlebih inflasi yang dibayar oleh rakyat tidak hanya inflasi yang terjadi pada tahun berjalan, melainkan juga menanggung beban inflasi yang terjadi sebelumnya,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia menambahkan, di samping menjadi kebutuhan pokok, komoditas BBM sudah menyentuh semua aspek kehidupan. “Hampir tidak ada sisi kehidupan yang tidak tersentuh olehnya. Baik konsumsi secara langsung seperti penggunaan moda transportasi, maupun tidak langsung seperti penggunaan listrik dan distribusi air PDAM,” urainya.
Dengan kondisi demikian, apalagi ketika kepemilikan SDA energi diserahkan kepada swasta sebagaimana yang terjadi sekarang, maka hanya akan berujung kepada dilema tak bertepi.
Tengoklah pihak swasta yang tentu saja memiliki kecenderungan orientasi profit, bukan pelayanan kepada rakyat. Dengan orientasi demikian, kata Hatta, swasta akan menjual kepada siapa saja yang berani membeli dengan harga tinggi.
Sebutlah pula, lifting minyak Pertamina selaku BUMN tunggal di bidang migas hanya mencapai 52%, dan gas yang di kisaran 35% dari tingkat nasional. “Tentu saja ini akan menyulitkan pemerintah untuk mengendalikan harga dan distribusinya,” nilainya.
Belum lagi hal serupa juga terjadi di sektor batu bara, yang menurut Hatta, dari 557.5 juta metrik ton yang diproduksi tahun 2020, 81.76 persennya diproduksi oleh 21 perusahaan, hanya satu perusahaan yang tercatat sebagai BUMN.
“Akibatnya, PLN sudah berulang kali mengalami krisis batu bara dikarenakan pasokan batu bara dijual ke luar negeri dengan harga yang lebih mahal mencapai US400 per metrik ton,” bebernya.
Sementara itu kalau dijual kepada PLN dan industri dalam negeri hanya dipatok paling mahal USD70 dan US90 per metrik ton.[] Zainul Krian