Mediaumat.id – Dari sudut pandang Islam, prasarana perhubungan darat, terlepas bentuk dan segala bagian termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya seperti jalan tol, dinilai sebagai milik umum sehingga tidak boleh dikomersilkan.
“Di dalam Islam, jalan merupakan milik umum bukan untuk dikomersilkan,” ujar Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.id, Selasa (5/9)/2023).
Hal ini ia sampaikan untuk merespons sekaligus mengingatkan soal rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR yang bakal kembali melelang Jalan Tol Getaci (Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap) pada tahun ini.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, telah dinyatakan oleh Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, Rabu (30/8/2023), bahwa pemerintah berencana melelang salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) ini paling lambat terlaksana akhir 2023.
“Ditargetkan (akhir) tahun ini, kalau bisa lebih awal. Kita kejar tahun ini harusnya proyek Tol Getaci bisa lelang,” kata Herry.
Untuk diketahui, pembangunan Jalan Tol Getaci itu bertujuan untuk menghubungkan Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), dan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, sekaligus mendukung segala aktivitas dan mobilitas masyarakat termasuk pariwisata antar tiga provinsi tersebut.
Dengan kata lain, apabila mengaitkannya dengan sebuah hadits Rasulullah SAW riwayat Abu Dawud dan Ahmad, yang artinya “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”, berikut penjelasan dari Imam as-Sarakhsyi di dalam kitab Al-Mabshut, maka tidak boleh ada pihak yang menghalangi seseorang dari pemanfaatan jalan bebas hambatan ini.
“Tidak boleh ada seorang pun yang menghalangi seseorang dari pemanfaatannya. Misalnya melarang mengambil air sungai atau melarang orang lewat di jalan umum,” demikian bunyi keterangan dimaksud.
Sehingga, masih menurut Imam as-Sarakhsyi, pengelolaan berkenaan pemanfaatan ketiga hal tersebut, termasuk jalan untuk umum, haruslah pihak negara. Sedangkan pemanfaatannya sendiri, posisi ketiga-tiganya sama dengan pemanfaatan matahari dan udara.
Apalagi di sisi lain, telah disebutkan di dalam UU RI No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, bahwa prasarana ini sebagai bagian prasarana transportasi yang mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kapitalisme
Namun demikian, sambung Ishak lebih lanjut, pembangunan jalan tol selama ini, pada prinsipnya dibangun atas konsep kapitalisme. Artinya, prasarana tersebut dianggap sebagai barang ekonomi yang bisa mendatangkan keuntungan.
Karena itu, tak heran apabila di dalam pengelolaannya melibatkan pihak swasta. “Swasta diberikan peluang untuk terlibat dalam bentuk kerja sama pemerintah dan swasta,” urainya.
Sehingga, tambah Ishak, BUMN pun didorong untuk membangun proyek serupa dengan motif utama serupa, yaitu mencari profit. Maka tak heran pula, pasca membangun, sementara potensi penggunaannya tinggi, dilelanglah kepada swasta.
Tak ayal menurut Ishak, dengan beralihnya subjek pengelola ke tangan swasta, bisa dipastikan publik bakal membayar cukup mahal untuk sekadar memanfaatkan jalan, yang sebenarnya di dalam ketentuan Islam merupakan milik umum yang tidak boleh dikomersilkan.
“Hal ini tentu berisiko sebab publik harus membayar cukup mahal untuk menggunakan barang yang semestinya disiapkan negara,” pungkasnya.[] Zainul Krian