Mediaumat.id – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengaku telah mendapatkan gambaran lapangan tentang penyebab tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, dinilai ada kesan sebagai upaya untuk melepaskan keterlibatan pemerintah.
“Ada kesan pemerintah mencoba cuci tangan,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada Mediaumat.id, Jumat (7/10/2022).
Bahkan lebih dari itu, pemerintah juga dipandangnya ingin melindungi institusi yang mestinya bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan tersebut.
Sebutlah pihak PSSI dan kepolisian yang tak disinggung bersalah dalam pernyataannya saat bertandang ke stadion dimaksud. Jokowi malah mengatakan hal-hal yang tidak relevan sebagai penyebab utamanya.
Diinformasikan, Presiden Jokowi didampingi Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali serta Ketua Umum PSSI Mochammad Iriawan telah melakukan kunjungan ke Stadion Kanjuruhan, Malang, untuk mendapatkan gambaran lapangan tentang insiden yang telah menewaskan ratusan korban jiwa.
“Hari ini saya datang ke Stadion Kanjuruhan di kabupaten Malang untuk mendapatkan gambaran lapangan tentang peristiwa 1 Oktober malam di sini,” ujar Jokowi, dikutip kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (5/10).
Ketika itu, Jokowi melihat langsung titik-titik di mana penumpukan massa terjadi. Katanya, permasalahan yang terjadi adalah pintu keluar yang dikunci dan kepanikan penonton menjadi sebab banyaknya jatuhnya korban saat kejadian.
“Itu nanti tim gabungan yang harus melihat secara detail, tetapi sebagai gambaran tadi saya lihat itu problemnya ada di pintu yang terkunci dan juga tangga terlalu curam, ditambah kepanikan,” kata Jokowi.
Padahal, terang Iwan lebih lanjut, selama ini Stadion Kanjuruhan memang kondisinya seperti itu. Namun tidak ada kasus kritis semacam kemarin.
Artinya, yang diungkapkan presiden bukanlah penyebab utamanya. Tetapi kata Iwan, justru penanganan keamanan yang over reaksi berikut penggunaan gas air mata yang ditembakkan ke tribun penonton.
Perlu diketahui sebelumnya, larangan penggunaan gas air mata sudah jelas tertuang dalam ketentuan keamanan yang ditetapkan oleh FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, sebagai alat pengendali massa di dalam stadion. Pun disebutkan bahwa gerbang keluar dan pintu keluar darurat tetap tidak terhalang setiap saat.
Pun di sisi lain terdapat pernyataan seorang profesor di Universitas Keele, Inggris, yang makin pula menegaskan bahwa gambaran yang diungkapkan presiden tak relevan sebagai penyebab utamanya.
Dikutip Washingtonpost.com (6/10), Clifford Stott, seorang profesor dimaksud, usai meninjau video yang disediakan oleh The Post mengatakan bahwa apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah akibat langsung dari tindakan polisi yang dikombinasikan dengan manajemen stadion yang buruk.
Bersama dengan pakar pengendalian massa lainnya dan empat pembela hak-hak sipil, dia juga mengatakan penggunaan gas air mata oleh polisi tidak proporsional.
“Menembakkan gas air mata ke tribun penonton saat gerbang terkunci kemungkinan besar tidak akan menghasilkan apa-apa selain korban jiwa dalam jumlah besar,” katanya. “Dan itulah tepatnya yang terjadi,” tambah Clifford Stott.
Politis
Lebih jauh Iwan pun mengkhawatirkan, penyelidikan yang dilakukan bakalan bersifat politis. Yakni saling melindungi antar institusi karena memang ada simbiosis mutualisme di dalamnya.
“Kita khawatir penyelidikan ini bersifat politis. Saling lindungi institusi karena ada simbiosis mutualisme,” tandasnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, apabila cara-cara itu terus dilakukan, kata Iwan, rakyat bakal semakin tidak percaya kepada pemerintah berikut hukum yang berlaku. Sehingga yang rugi tentunya pemerintah termasuk pihak aparat keamanan dan PSSI.
“Semakin negatif citra mereka di mata rakyat, bahkan di mata dunia, karena tragedi ini sudah masuk tragedi besar di dunia sepakbola,” paparnya.
Terakhir, apabila ternyata pemerintah, aparat keamanan dan PSSI memang tak mau bertanggung jawab dan belajar dari kejadian itu, tragedi semacam kemarin bisa terulang kembali. “Bukan tidak mungkin tragedi macam ini bisa terulang di masa depan,” pungkasnya.[] Zainul Krian