Pembunuhan Qasem Soleimani dan Topeng Iran yang Meragukan

Pada tanggal 3 Januari 2020, Amerika Serikat melalui serangan udaranya telah menewaskan Qasem Soleimani, Mayor Jenderal Iran untuk Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) sejak 1998, dan Komandan Pasukan Quds (yang dikenal karena operasi militer dan operasi klandestin ekstrateritorialnya) yang dianggap sebagai orang paling kuat kedua di Iran di sebelah Sayyid Ali Hosseini Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran saat ini. Iran menanggapi pembunuhan itu melalui operasi militer yang disebut Operasi Martir Soleimani dengan meluncurkan sejumlah rudal balistik ke Pangkalan Udara Ayn al-Asad di Kegubernuran Al Anbar, Irak Barat, dan di pangkalan udara di Erbil, Kurdistan Irak. Serangan ini tidak mengakibatkan korban jiwa dan tidak membuat dampak berarti apa pun kepada AS. Peristiwa ini telah mendapatkan perhatian media global dan dianggap sebagai ancaman besar bagi dunia dan kemungkinan dapat memicu Perang Dunia III.

Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui bagaimana melihat peristiwa ini dan kenyataan yang ada di baliknya, alih-alih jatuh ke dalam sudut pandang umum berbasis emosi hanya untuk publisitas.

Sudut pandang umum yang dikembangkan, pertama-tama berdasarkan pada emosi yang berasal dari paparan berita dan publisitas pada media global dengan pidato retorika oleh para pemimpin AS dan Iran untuk saling menyerang dan pandangan negara-negara dunia. Kedua, hasrat besar umat Islam agar Islam mendorong mereka ke sudut pandang umum ini dan bahwa Iran adalah satu-satunya negara Muslim yang mampu melawan AS secara langsung karena serangan responsif oleh Iran terhadap AS. Pandangan umum ini hanya memberikan posisi tinggi yang berlebihan kepada Iran daripada kenyataan dan tren yang sama terjadi dalam masalah serupa di dunia.

Selain itu, dapat dilihat bahwa terlepas dari kenyataan bahwa para pemimpin dari kedua belah pihak telah secara langsung menyatakan niat mereka yang jelas untuk mengurangi ketegangan dan untuk menghentikan serangan, umat Islam mengembangkan sudut pandang umum bahwa ada peluang terjadinya Perang Dunia III dan Iran merupakan satu-satunya negara Muslim yang bisa menentang dan memerangi AS. Pandangan ini adalah hasil dari pemikiran politik yang dangkal yang mendorong umat ke dunia penuh ilusi.

Jadi, umat Islam harus diingatkan bahwa kesadaran politik adalah suatu keharusan dan itu merupakan aspek penting untuk menstabilkan umat Islam terutama setelah runtuhnya Khilafah Islam kita dan juga untuk bekerja untuk pendiriannya kembali yang menjamin kelanjutan misi Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (Swt). Dengan menyadari pentingnya menetapkan bobot pada kesadaran politik sambil menilai peristiwa global dengan sudut pandang tertentu dan dengan wawasan mendalam, umat Islam dapat memahami realitas dan mendapatkan kejelasan lebih lanjut tentang semua peristiwa tersebut.

Oleh karena itu, untuk sampai pada sudut pandang politik tertentu mengenai pembunuhan atas Qasem Soleimani, perlu suatu fokus, dengan wawasan politik, tentang mengapa AS membunuh Qasem Soleimani dan juga mengapa dilakukan pada waktu itu.
Sudut pandang politik tertentu dapat dicapai dengan mempelajari protes anti-pemerintah yang sedang berlangsung di Iran, Irak dan Libanon, kebijakan AS dan sikapnya terhadap negara-negara tersebut, – lebih khusus terhadap Iran dalam peran AS dalam pembentukan Konstitusi/Parlemen Irak – tujuan mendirikan pemerintahan seperti itu dan peran Qasem Soleimani dalam operasi bersama dengan AS untuk menyerang Suriah, Afghanistan, dan Irak.

Pertama, telah terjadi protes anti-pemerintah besar-besaran yang terjadi di Iran, Irak dan Libanon. Bahkan tiga bulan sebelum pembunuhan Qasem Soleimani, telah terjadi protes besar-besaran di Iran, Irak dan Lebanon terhadap rezim pemerintah mereka saat ini karena ketidakpuasan terhadap mereka atas berbagai masalah termasuk masalah ekonomi. Intensitas protes dapat dirasakan melalui pembunuhan para demonstran oleh sekitar 1500 orang di Iran, lebih dari 500 di Irak dan juga di Libanon. Dalam keadaan ini, sebagai perpanjangan dari kegiatan pembatasan secara rutin, Qasem Soleimani dan beberapa personel bersenjata lain dari Iran telah dibunuh dalam serangan AS ini. Hanya dengan menghubungkan peristiwa-peristiwa ini, bahkan tanpa membuat perincian, Umat dapat memperoleh kejelasan tentang masalah ini.

Bahkan sebelum mengambil sikap untuk membunuh Qasem Soleimani, tiga sikap berbeda AS tentang Iran diambil oleh para pemimpin politik & penasihat AS. Pertama mendeklarasikan perang terhadap Iran; kedua mengubah rezim; ketiga membatasi fungsi dan tindakan Iran untuk mempertahankannya di bawah kekuasaan AS. Namun, AS telah mengesampingkan dua sikap pertama dan mengadopsi sikap ketiga yakni membatasi Iran agar tetap di bawah kendalinya tanpa melakukan perang dan tanpa perubahan rezim. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ini, AS telah melakukan serangan udara dan pembunuhan Qasem Soleimani, karena hanya ini yang dapat meredakan protes anti-pemerintah dan menstabilkan rezim saat ini di Iran dan Irak dan menjaga mereka di bawah kendali untuk terus mengambik manfaat di sana. Hal ini secara kebetulan bermanfaat bagi pemerintah Iran saat ini untuk stabilisasi dan kelanjutan rezimnya dengan memenangkan hati rakyat yang memprotes dilakukannya serangan responsif terhadap AS dan menempatkan diri sebagai pelindung rakyat dan negara Muslim yang hebat untuk berdiri menentang kekuatan global AS.

Ini mengarah pada pertanyaan mengapa membunuh Qasem Soleimani. Untuk memahami hal ini, penting untuk mengetahui peran Qasem Soleimani dan Iran dalam operasi militer bersama dengan AS untuk melakukan serangan di Suriah, Afghanistan, dan Irak. Ini bisa dibuktikan dari pernyataan jujur para pejabat dan pemimpin pemerintah. Pemimpin sebelumnya Mohammad Khatami telah menyatakan bahwa Saddam Hussein adalah musuh terbesar mereka dan tujuan mereka adalah untuk menghancurkan Saddam Hussein. Jadi dia telah meminta AS untuk melakukan operasi bersama di Irak seperti yang sudah mereka lakukan di Afghanistan. Dari sini, ditetapkan bahwa mereka juga telah melakukan operasi bersama di Afghanistan. Lebih lanjut, seorang pakar CIA juga menyatakan hal yang sama bahwa Iran telah bergandengan tangan dengan AS untuk Operasi Pembebasan pada tahun 2001 selama awal ‘perang melawan teror’ dan serangan ke Afghanistan. Hal-hal ini membuktikan fakta bahwa Iran telah melakukan operasi bersama dengan AS dalam serangan di Irak dan di Afghanistan. Demikian pula, di Suriah, sangat jelas diketahui bahwa Iran adalah satu di antara banyak negara yang mendukung AS untuk memperkuat pemerintah Bashar al-Assad. Oleh karena itu, terbukti bahwa Iran telah bergabung dengan AS untuk melakukan serangan di Suriah, Afghanistan, dan Irak. Dalam semua tindakan AS terhadap tiga negara Muslim, Iran adalah pemain kunci dalam melaksanakan agenda AS dan peran utama dalam semua operasi dimainkan oleh Qasem Soleimani. Ada banyak bukti yang tersedia untuk membuktikan hal yang sama dan salah satu bukti tersebut adalah bahwa peran Qasem Soleimani sebagai komandan serangan Irak Utara terhadap ISIS oleh AS. Peran Qasem Soleimani dalam melaksanakan agenda AS tidak dapat disangkal.

Tetapi, seperti yang dinyatakan sebelumnya, sikap AS saat ini adalah untuk menahan Iran sehingga mereka terus mendapatkan manfaat dari wilayah itu dan hal itu dapat dicapai dengan memperluas rezim Iran saat ini dengan menjinakkan protes rakyat anti-pemerintah dengan membuat peristiwa itu. yang menggambarkan pemerintah saat ini sebagai pemerintahan yang kuat dalam menentang AS. Di antara peristiwa yang dipentaskan seperti itu adalah pembunuhan Qasem Soleimani, karena AS merasa bahwa Qasem Soleimani melampau batas di Irak dengan melibatkan solusi politik selama protes ini dan serangan responsif oleh Iran terhadap pangkalan udara AS di Irak, yang dapat membalikkan emosi yang mendukung rezim Iran saat ini. Ini memastikan dominasi AS terhadap Iran dan sikapnya untuk menahan Iran.

Demikian pula, dominasi AS atas Irak dapat dilihat dari sejak awal. Paul Bremer, seorang diplomat politik AS, adalah orang yang merumuskan konstitusi dan parlemen Irak pada tahun 2003 setelah menggulingkan rezim Saddam Hussein. Sekarang, parlemen Irak memutuskan untuk mengirim pulang pasukan AS dari Irak dan mengeluarkan resolusi untuknya alih-alih mengeluarkan undang-undang. Menlu AS, Mike Pompeo, telah menolak permintaan Irak dan mengkonfirmasi bahwa mereka akan melanjutkan misinya untuk menstabilkan pasukan Irak dan tidak dapat menarik pasukannya.

Telah terlihat bahwa kapan pun dibutuhkan, AS melakukan operasi bersama dengan Iran untuk menyerang negara-negara Muslim lainnya dan juga untuk mencabut sanksi-sanksi terhadap Iran selama waktu itu. Ini terbukti selama operasi bersama di Suriah. Hal ini juga menunjukkan bahwa Iran berbagi hubungan yang lebih bersahabat dengan AS.
Selanjutnya, setiap kali muncul kebutuhan untuk menahan Iran, AS menjatuhkan sanksi atau tindakan militer seperti yang baru-baru ini dilakukan. AS menggunakan opsi ini setiap kali Iran mencoba untuk melewati batas yang ditentukan olehnya. Karena itu, AS menggunakan tindakan yang sesuai pada waktu yang tepat kepada Iran. Oleh karena itu, tidak ada hal baru yang terjadi pada peristiwa itu tetapi ini merupakan kelanjutan dari tren tindakan yang sesuai pada waktu yang tepat. Lebih lanjut, Henry Kissinger, seorang politisi AS, pernah menyatakan bahwa tidak ada musuh abadi dan tidak ada teman abadi bagi AS tetapi mereka selalu peduli atas AS yang lebih baik. Semua hal ini menunjukkan bagaimana AS memperlakukan Iran.

Lebih jauh lagi, perlu juga diketahui bagaimana Iran bertindak atas semua hal ini, dengan perspektifnya sendiri, karena Iran mendirikan rezimnya di Timur Tengah dengan bantuan kesepakatan antara Ayatullah Khamenei dan AS dan juga menggunakan identitas Syiah, mendukung mereka, sampai saat ini. Tujuan utama Iran adalah hanya untuk mempertahankan pengaruh regionalnya di Timur Tengah. Untuk itu mereka mendanai dan memasok senjata ke gerilyawan Houthi di Yaman dan Hizbullah di Libanon dan juga mendukung Bashar al Asaad di Suriah. Ruang lingkup dan tujuan Iran mendirikan negara bukan berdasarkan pada Islam tetapi semata-mata untuk mendapatkan pengaruh regional dengan mengeksploitasi Syiah di wilayah Timur Tengah. Karenanya, negara ini yang didirikan dengan ruang lingkup terbatas ini tidak akan pernah bisa berfungsi dalam pengertian global atau kesadaran politik global sebagaimana ditentukan oleh Islam. Jadi, umat Islam harus memahami bahwa Iran tidak pernah menetapkan tujuan atau misi yang diamanatkan oleh Islam.

Dengan konteks ini, salah satu pelajaran yang bisa dipelajari oleh umat Islam adalah bahwa setiap kali kelompok kecil atau partai politik di suatu wilayah memiliki kesepakatan dengan kekuatan super global untuk membangun otoritasnya atas suatu negara atau membentuk negara baru dengan otoritasnya, kelompok atau partai politik atau bahkan negara yang memiliki kesepakatan dengan kekuatan super global itu tidak akan pernah sama dengan kekuatan super global dengan cara apa pun; sebaliknya, negara itu akan berada di bawah kekuasaan kekuatan super global itu dan selalu tunduk padanya. Lebih lanjut, tidak peduli seberapa patuh dan berapa lama agen ini melayani mereka, mereka dapat dibuang kapan pun AS merasa perlu melakukannya jika mereka tampaknya tidak cocok dengan agenda politik mereka. Seperti dalam kasus Qasem Soleimani, sangat disayangkan bahwa penguasa Muslim saat ini tidak mengambil pelajaran darinya. Tapi, umat Muslim harus mengetahui kenyataan bahwa tujuan akhir dari mereka yang melayani AS selalu sama.

Demikian pula, umat Islam harus memahami perbedaan antara tindakan dan pidato retorika para pemimpin negara-negara tersebut. Misalnya, umat Islam memandang Iran sebagai kekuatan super yang dapat berhadapan langsung dengan AS, kekuatan super global saat ini berdasarkan pidato retorika terbuka para pemimpin Iran, seperti “Matilah AS” dan tindakan seperti serangan responsif terhadap pangkalan AS di Irak. Semua peristiwa ini hanyalah upaya untuk meyakinkan rakyat Iran dan menghilangkan ketidakpuasan yang ada. Tapi, tindakan ini sebenarnya tidak menciptakan dampak signifikan apa pun terhadap AS. Ketika Iran merayakan Qasem Soleimani sebagai seorang komandan penting dan berduka selama tiga hari atas kekalahannya dengan mengibarkan bendera merah, tetapi kemudian serangan responsif terhadap pangkalan AS di Irak dilakukan hanya setelah semua orang di lokasi tersebut mengosongkan diri dan mengklaim bahwa serangan itu mengakibatkan beberapa kerusakan bagi AS. Pada saat yang sama, mereka juga secara terbuka menyatakan bahwa mereka tidak ingin berperang dengan AS. Dari sini, umat Islam harus memahami bahwa Iran mendirikan negara hanya berdasarkan pengaruh regional dan tentu saja bukan pada tujuan Islam. Bahkan struktur pemerintahan yang mereka dirikan di Iran juga berada di bawah kekuasaan AS. Lebih lanjut, bahkan jika Iran ingin bertindak secara independen dalam beberapa hal untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri, mereka hanya berada dalam posisi bahwa mereka akan dikekang oleh AS melalui sanksi atau tindakan militer dan itulah kenyataannya. Ini memperlihatkan topeng Iran yang meragukan dan juga realitas di balik pembunuhan Qasem Soleimani.

Realitas ini tidak hanya untuk Iran, tetapi untuk semua negara Muslim yang diperintah oleh agen atau budak AS. Semua negara tersebut tidak bertindak seperti Iran tetapi berbeda dan dalam pengaruh regional. Misalnya, tindakan Arab Saudi akan berbeda dan tindakan Turki akan berbeda tetapi hanya dalam pengaruh regional.
Mereka menggunakan beberapa aspek dari sistem Islam, memberikan pidato retorika terbuka terhadap tuan-tuan mereka, melakukan serangan militer yang sia-sia tanpa merusak atau berdampak pada tuan-tuan mereka untuk mengubah pendapat, emosi dan sentimen umat Islam dalam mendukung mereka dan itu adalah esensi yang nyata di balik semua peristiwa semacam ini.

Oleh karena itu, umat Islam, jangan jatuh kepada agen semacam ini dengan topeng mereka yang meragukan, tapi harus mengarahkan pikiran, emosi, sentimen, aspirasi dan upaya mereka untuk mendirikan kembali Khilafah Islam yang berjalan di atas jalan kenabian yang hanya dengannya dapat menyelesaikan semua masalah umat manusia ini dan menjaga semua orang dalam ketenangan. Ini bisa menjadi satu-satunya upaya untuk melanjutkan misi Nabi kita ﷺ dan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam Allah (swt) dan mendapatka keridhoan-Nya.

Allah berfirman:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman [Terjemahan QS 4: 141]

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Hameed Bin Mansoor

Share artikel ini: