Pada hari Minggu tanggal 6 Juni, sebuah keluarga Muslim di London, Ontario, Kanada dibunuh dalam serangan teror yang mengerikan oleh seorang pengemudi yang dengan sengaja menabrak mereka dengan truk yang dikendarainya sehingga membunuh seorang nenek berusia 74 tahun, ayah berusia 46 tahun, ibu berusia 44 tahun dan putri remaja berusia 15 tahun. Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun juga ikut terluka parah.
Polisi menyatakan bahwa peristiwa itu adalah “tindakan yang direncanakan, yang dimotivasi oleh kebencian” dan bahwa “para korban menjadi sasaran karena agama mereka.”
Serangan itu terjadi di tengah meningkatnya gelombang Islamofobia dan kejahatan kebencian terhadap Muslim di Kanada. Dalam beberapa bulan terakhir, banyak wanita Muslim berhijab telah diserang di Toronto, Montreal, London dan kota-kota lain.
Pada September 2020, seorang pria Muslim ditikam hingga tewas di luar sebuah masjid di Toronto. Dan empat tahun lalu, seorang Islamofobi membunuh 6 orang saat mereka sedang salat di Masjid Kota Quebec. Faktanya, menurut Statistik Kanada, kejahatan kebencian terhadap Muslim di negara itu meningkat lebih dari tiga kali lipat antara tahun 2012 hingga 2015, dengan lebih dari 180 insiden terhadap kaum Muslim pada tahun 2019. Selanjutnya, survei tahun 2016 oleh Ontario Council of Agencies Serving Immigrants, menemukan bahwa hanya 32% penduduk Ontarian yang memiliki “kesan positif” tentang Islam, sementara survei tahun 2017 yang dilakukan untuk Radio Canada melaporkan bahwa hampir satu dari empat orang Kanada akan mendukung larangan imigrasi Muslim, dengan 51% responden tinggal di Kanada dan 57% di Quebec yang menyatakan bahwa mereka merasa kehadiran umat Islam di negara tersebut membuat mereka “agak” atau “sangat khawatir” akan keamanan.
Sikap kebencian dan serangan yang meluas yang bermotivasi agama terhadap Muslim tidak muncul secara tiba-tiba. Mereka adalah hasil dari demonisasi sistematis terhadap Muslim dan keyakinan Islam mereka yang telah terjadi di banyak negara sekuler Barat selama dua dekade terakhir oleh para politisi dari semua spektrum warna, media arus utama dan berbagai institusi dan organisasi. Retorika Islamofobia yang menghasut oleh para politisi dan wartawan – yang menentang segala sesuatu mulai dari jilbab dan niqab hingga hukum perkawinan dan keluarga Islam, pemisahan gender, membela kesucian Nabi (Saw), dukungan untuk pembebasan Palestina dari orang-orang Yahudi yang merampas tanah, keyakinan pada Umat Muslim global, dan dukungan untuk penerapan sistem Islam di negeri-negeri Muslim – telah dibenarkan dan disamarkan dengan berkedok ‘debat politik’, ‘kebebasan berekspresi’ dan ‘melindungi nilai-nilai demokrasi’. Selain itu, pemisahan yang ketat antara gereja dan negara oleh pemerintah sekuler ekstremis telah menstigmatisasi, meminggirkan, dan menjelekkan minoritas Muslim dan memperlakukan mereka seperti warga negara kelas dua – sebagaimana terbukti dengan larangan berbagai keyakinan Islam, seperti jilbab dan niqab. RUU Quebec 21 misalnya, yang melarang para pekerja sektor publik mengenakan jilbab, telah “melembagakan Islamofobia gender” dan telah dianggap sebagai penyebab meningkatnya serangan terhadap wanita Muslim yang mengenakan pakaian Islami di provinsi Kanada. Sementara itu, langkah-langkah anti-terorisme dan anti-ekstremisme yang cacat oleh pemerintah sekuler Barat telah membuat profiling terhadap populasi Muslim sebagai komunitas yang dicurigai, dan musuh dari dalam, karena mempromosikan narasi palsu yang menggabungkan keyakinan politik dan sosial Islam dengan ekstremisme dan kekerasan, dan ancaman keamanan nasional sehingga mengakibatkan umat Islam menjadi sasaran dimata-matai dan ditangkap secara diskriminatif. Baik itu undang-undang terorisme C-51 Kanada yang secara berbeda menargetkan kaum Muslim dengan pemantauan dan penahanan; maupun RUU separatisme Prancis dan strategi PREVENT di Inggris yang menstigmatisasi kaum Muslim karena keyakinan Islam mereka; atau ‘peta Islam’ nasional Austria yang mengidentifikasi lokasi-lokasi masjid dan organisasi-organisasi Muslim di negara itu untuk memerangi ‘Islam politik’ –semuanya bertanggung jawab atas berkobarnya api Islamofobia dan serangan anti-Muslim.
Ini adalah Islamofobia yang disponsori negara yang dipicu oleh pemerintah sekuler yang terlibat dalam ‘politik ketakutan’ dengan menggambarkan ekspresi identitas Islam oleh umat Islam sebagai ancaman bagi masyarakat mereka untuk melawan meningkatnya Islamisasi Muslim di Barat dan internasional. Hal ini telah menciptakan tempat berkembang biak bagi kekerasan xenofobia rasial (ketakutan akan orang asing) dan merupakan kekuatan pendorong di balik epidemi kebencian anti-Muslim yang mencengkeram negara-negara Barat saat ini. Ini adalah bukti lebih lanjut bagaimana ideologi dan sistem sekuler secara inheren cacat, memecah belah, diskriminatif dan berbahaya, dan mengapa sebagai Muslim, kita perlu menghadirkan Islam sebagai sistem ideologi alternatif dan model yang harus dicoba dan diuji atas bagaimana menciptakan harmoni dan rasa hormat sejati antara orang-orang dari semua keyakinan agama.
Nazreen Nawaz
Direktur Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir