Pembubaran HTI dan Sesat Pikir Menko Polhukam; Catatan Yusril Ihza Mahendra

Kemenhumkan dengan resmi telah mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disertai dengan pembubaran ormas yang berstatus badan hukum perkumpulan atau vereneging. Kewenangan pemerintah mencabut status badan hukum dan sekaligus membubarkan ormas tanpa proses peradilan adalah kewenangan yang diberikan oleh Perppu Nomor 2 Tahun 2017.

“Saya sejak awal mengatakan bahwa Perppu ini membuka peluang bagi pemerintah menjadi diktator. Pemerintah secara sepihak berwenang membubarkan ormas tanpa hak membela diri dan tanpa due process of law atau proses penegakan hukum dan adil dan benar sesuai asas negara hukum yang kita anut,” jelas pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam rilis yang diterima wartawan, Rabu (19/7).

Yusril menambahkan, pemerintah sebagaimana ditegaskan Menko Polhukam Wiranto, dengan sesat pikir menerapkan azas contrarius actus dalam hukum Romawi ke hukum nasional. Dengan azas itu, menurut Wiranto, pemerintah yang berwenang menerbitkan izin berdirinya ormas, maka dengan sendirinya berwenang pula mencabut izin itu.

Padahal, tegas Yusril, mendirikan ormas bukanlah sesuatu yang perlu izin Pemerintah. SK Menhumkan tentang pengesahan berdirinya sebuah badan hukum, sama sekali bukan surat izin seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dikeluarkan Polisi.

“Izin dikeluarkan agar seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang. Mengemudi di jalan raya itu prinsipnya dilarang karena bisa membahayakan orang lain. Namun, seseorang boleh melanggar larangan itu, kalau dia punya SIM itu,” ujar Yusril.

Nah, kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang seperti mengemudi di jalan raya, melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 45. Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum ormas yang didirikan, bukanlah surat izin sebagaimana dengan sesatnya dipahami oleh Menko Polhukam.

Pembubaran terhadap HTI sudah dapat kita duga alasannya. Ormas ini dianggap menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 4 huruf c Perppu. Pelanggaran terhadap pasal ini dijatuhi sanksi administratif dan/atau pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a jo Pasal 61 ayat (1) huruf c jo ayat (3) huruf b.

Sanksi administratif pencabutan status badan hukum disertai dengan pembubaran berdasarkan pasal Perppu di atas sudah dijatuhkan oleh Menkumham kepada HTI.

Yusril tidak mengetahui secara pasti apakah sanksi pidana akan dijatuhkan atau tidak. Seandainya dijatuhkan, maka sanksi pidana bagi setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Menurut Pasal 59 ayat (4) Perpu dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (2).

Romli Atmasasmita, sambung Yusril, mengatakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (2) di atas hanya dijatuhkan kepada pimpinan ormas atau mereka yang menjadi aktor intelektual menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila saja, bukan kepada semua pimpinan dan anggota ormas yang dibubarkan. Namun kalau kita baca bunyi rumusan norma Pasal 82A ayat (2),

“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Rumusan pasal ini jelas bahwa terhadap pengurus dan anggota ormas anti Pancasila bisa dipidana, tidak terbatas hanya kepada aktor intelektual saja.”

“Ini jelas merupakan sanksi pidana yang tidak pernah ada di zaman penjajahan Belanda, zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bayangkan kalau ada 1 juta anggota ormas, begitu dikenakan sanksi pidana, semuanya bisa dipenjara sampai seumur hidup,” tegas Yusril. (gatra.com, 19/7/2017)

Share artikel ini: