Pembinaan Intensif dan Pembinaan Umum
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Pembinaan intensif [tatsqif murakkaz] dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan mengirim orang yang lebih dahulu memeluk Islam untuk mengajarkan Islam kepada mereka yang baru memeluk Islam. Pembinaan ini dilakukan dalam bentuk halqah [kelompok kecil], di rumah-rumah para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim. Selain itu, mereka juga membentuk halqah di Ka’bah, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab as-Sirah al-Halabiyyah.
Materi yang disampaikan di dalam halqah-halqah tersebut, sebagaimana surat-surat Makkiyah, umumnya terkait dengan pembentukan akidah sebagai kaidah berpikir para sahabat. Mulai dari bagaimana Islam mengajarkan jalan menemukan keimanan yang harus menggunakan nalar, baik ketika meyakini adanya Allah, Alquran sebagai kalam Allah, Muhammad sebagai utusan Allah, maupun apa yang ditunjukkan oleh Alquran sebagai perkara ghaib yang harus diyakini melalui penjelasan Alquran. Seperti keimanan kepada Malaikat, Kitab-kitab terdahulu, Hari Kiamat, dan lain-lain.
Materi tersebut bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis. Karena apa yang disampaikan itu benar-benar bisa ditunjukkan faktanya dalam kehidupan. Karena itu, apa yang diajarkan oleh Nabi SAW dan para sahabat dalam halqah-halqah itu sesungguhnya langsung bisa dipraktikkan. Hanya saja, karena mereka sebelum masuk Islam telah mempunyai keyakinan, maka keyakinan mereka benar-benar dibersihkan terlebih dahulu, baru kemudian keyakinan kepada Islam dan ajarannya dibangun dengan kuat.
Selain itu, apa yang diajarkan oleh Nabi, selain dibangun dengan rasionalitas yang kokoh, juga faktual dan praktis. Dengan begitu, apa yang diajarkan oleh Nabi SAW benar-benar mengakar kuat dalam keyakinan sahabat. Meski, tidak jarang di antara mereka hanya bertemu beberapa kali, bahkan ada yang hanya sekali, dengan Nabi SAW. Itulah yang terjadi pada diri Tufail bin ‘Amru ad-Dausi. Tufail ini datang dari suku Daus ke Makkah, dan hanya sekali bertemu dengan Nabi, tetapi akhirnya kembali ke sukunya dengan membawa Islam yang dia yakini begitu rupa.
Setelah itu, Tufail pun tidak bertemu lagi dengan Nabi, kecuali dengan tahun ke-6 H, tepatnya saat Perang Khaibar. Saat itu, Tufail kembali menemui Nabi SAW dengan membawa sukunya yang telah memeluk Islam. Di dalam rombongan itu ada seorang Abu Hurairah, yang kemudian menjadi sahabat yang luar biasa. Bagaimana Tufail bisa begitu rupa meyakini Islam yang diajarkan oleh Nabi, meski hanya bertemu sekali dengan Nabi? Tak lain, karena Islam yang disampaikan oleh Nabi itu disampaikan dengan pengaruh dan kesan yang begitu kuat. Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW kepada Tufail begitu melekat.
Apa rahasianya? Karena Tufail, dengan kecerdasannya yang luar biasa itu, mampu menangkap pemikiran dan faktanya sekaligus. Proses talaqqi fikriyyan seperti inilah mengantarkan Tufail memiliki pemahaman sekaligus keyakinan yang luar biasa. Pondasi yang menjadi modal besar baginya dalam mengemban dakwah kepada kaumnya.
Keyakinan seperti ini tidak hanya dimiliki Tufail, tetapi juga para sahabat yang lain. Ketika Mus’ab bin ‘Umair memeluk Islam, dia harus merelakan previlage-nya sebagai anak orang kaya, penampilan perlente dan hidup mewah bergelimang harta. Tetapi, karena keyakinannya kepada Islam yang begitu kokoh, dia pun sanggup meninggalkan semuanya itu demi Islam. Pengusiran orang tuanya pun tidak membuat keyakinan dan pendiriannya runtuh, justru sebaliknya semakin kokoh dan kuat.
Kekokohan hasil pembinaan yang dilakukan oleh Nabi kepada para sahabat ini juga ditunjukkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika ibunya tahu, Sa’ad diancam oleh ibunya, ibunya mengatakan tidak akan makan dan minum, hingga meninggal. Sa’ad dengan tegas mengatakan kepadanya, “Andai Ibu mempunyai nyawa seribu, dan nyawa itu hilang satu demi satu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku.” Akhirnya, ibunyalah yang kalah, dan menarik ancamannya.
Begitulah produk pembinaan yang dihasilkan oleh Nabi SAW. Pembinaan yang dilakukan secara intensif ini benar-benar telah menghasilkan kekuatan akidah dan pondasi dalam diri para sahabat. Pembinaan intensif ini juga diikuti dengan interaksi Nabi SAW dengan mereka, selama di Makkah. Interaksi pemikiran, perasaan dan dakwah Islam ini berjalan melengkapi proses pembinaan yang dilakukan di dalam halqah-halqah. Selain pendekatan personal, Nabi SAW pun menjadikan rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam sebagai pusat pembinaan umum.
Pembinaan umum ketika itu dilakukan oleh para sahabat melalui berbagai suhuf [lembaran] Alquran yang telah ditulis oleh para sahabat. Karena setiap ayat Alquran yang turun kepada Nabi langsung ditulis di depan Nabi SAW. Jika ada lembaran, maka saat itu juga ditulis di atas lembaran. Jika ada lempengan batu, maka saat itu juga ditulis di atas lempengan batu. Jika ada pelepah, maka saat itu juga ditulis di atas pelepah. Begitulah.
Lembaran-lembaran Alquran menjadi sarana yang bisa dibawa, dipindahtangankan dari satu orang ke orang lain. Karena itu, lembaran-lembaran ini sekaligus menjadi sarana untuk melakukan pembinaan umum. Para yang sahabat yang menjadi penulis wahyu jumlah juga banyak, sehingga lembaran-lembaran ini juga relatif banyak. Karena itu, pembinaan umum yang dilakukan oleh Nabi, selain menggunakan sarana rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, juga sarana-sarana lain, seperti lembaran Alquran, atau hafalan lisan, dan sebagainya.
Selain itu, Rasulullah SAW juga menggunakan person-person sahabat yang mempunyai kemampuan untuk merekrut dan membina orang lain. Abu Bakar, misalnya, dikenal mempunyai pergaulan yang sangat luas. Temannya juga banyak. Karena itu, Abu Bakar digunakan oleh Nabi SAW untuk menarik teman-temannya, seperti Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin Madh’un, Zubair, Thalhah, Sa’ad dan sebagainya. Ini juga bagian dari penggunaan uslub dan wasilan yang tepat dalam pembinaan umum, guna merekrut orang-orang baru.
Dengan cara seperti itulah, maka proses pembinaan intensif dan umum telah berlangsung di fase-fase awal dakwah Nabi SAW di Makkah. []
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 204